Friday, April 17, 2015

[Cerpen] Sex is a Bonuses

"Aku ga jadi nikah Mi", ujar Ayu pagi itu. Kening Mimi berkerut mendengar ucapan Ayu, kaget mendengar kabar yang tiba-tiba itu.

"Lho.. memangnya kenapa Yu ? Bukankah Seto telah memenuhi standar kriteria lelaki idamanmu ?" Ayu tidak menjawab, hanya mengangkat bahu, sambil menyeruput segelas capucino.

"Ternyata dugaan aku salah, dia sama aja dengan cowo-cowok sebelumnya", desis Ayu pelan, tatapannya kosong menerawang. Mimi menghentikan aktifitasnya, lalu memandang Ayu lekat-lekat, mencoba menelusuri seinci demi seinci kegundahan diwajah sahabatnya itu.

"Sama bagaimana Yu ? Dari yang aku lihat selama ini, Seto itu udah sangat ideal untuk kamu, dia tampan, sopan dan juga mapan, lalu dimana letak salahnya ?" Mimi tidak habis pikir bagaimana cara pikir Ayu, sehingga bisa-bisanya dia berkesimpulan Seto itu sama dengan beberapa lelaki dimasa lalunya.

"Ya.. dia sama saja dengan yang sebelumnya, diluarnya aja yang sopan, tapi otaknya sama dengan mereka, kotor..". Tekanan suara Ayu mulai naik, ada sedikit getaran disuaranya, menyiratkan sebuah emosi yang tertahan disana. Melihat itu Mimi semakin bingung.

"Kotor ? maksudnya apa sih Yu ? jelasin donk biar aku bisa paham".

"Iya.. kotor.. Seto itu ga beda dengan Andi, Bram atau pun Gio. Dalam pikiran mereka yang ada hanya sex, sex dan sex. Aku muak dengan laki-laki yang memandang perempuan sebagai objek. Aku tidak akan pernah bisa menerima hal itu", suara Ayu semakin meninggi. Semua yang dia tahan sejak tadi akhirnya keluar juga beriringan dengan butiran-butiran bening yang mengalir dari sudut matanya.

"Masa' sih Seto seperti itu ? Rasanya ga mungkin deh", sanggah Mimi sangsi. "Emangnya dia berbuat ga senonoh sama kamu ?" tanya Mimi lagi. Dia memang penasaran dengan semua yang diceritakan Ayu. Akalnya masih menolak untuk mempercayai hal negatif tentang Seto.

"Hmm.. engga sih. Cuma ketika aku tanya 'apa hal pertama yang kamu bayangin tentang aku jika kita menikah nanti ?', trus kamu tau ga dia jawab apa ? dia bilang 'hal pertama yang aku bayangin adalah tubuh kamu, yang pasti sangat indah dimalam pertama nanti'. Coba kamu pikir, gimana aku ga jijay coba ?" Ayu semakin meradang, mimik wajahnya menggambarkan rasa jijik yang luar biasa.

Mimi terbahak mendengar perkataan Ayu, sungguh tidak menyangka sahabatnya itu punya pikiran mengajukan pertanyaan seperti itu. "Ayu.. Ayu.. justru kamu yang lucu. Lagian ngapain juga kamu pancing-pancing dia dengan pertanyaan seperti itu ? Ya iya lah Yu.. Diakan laki-laki normal, adalah wajar jika dia memiliki imajinasi tentang tubuh calon istrinya. Lagian coba kamu pikir, apa sih tujuan menikah ? Dari buku yang aku baca orang-orang menikah tujuannya ya.. diantaranya itu 'menyalurkan kebutuhan biologis secara halal' dan 'memperoleh keturunan'. Lha emangnya dua tujuan itu bisa di dapat tanpa hubungan sex ? Kamunya aja yang sensi nanggapin itu dengan serius. Kalau pendapat aku sih, dia ga berpikiran kotor kok Yu. Dia cuma berusaha jujur dihadapan kamu".

"Pokoknya aku ga bisa terima dia berpikiran seperti itu. Jadi selama ini selama kami berhubungan, ketika melihatku yang ada dalam imajinasi dia adalah tubuh aku yang telanjang gitu ? Ikhh.. ga banget. Mending aku menjomblo seumur hidup deh dari pada hidup bersama dengan laki-laki seperti itu", Ayu tetap kukuh pada pendiriannya. Mimi geleng-geleng kepala mendengar kata-kata Ayu.

"Hush.. kamu ini bicara apa sih ? Ga baik bicara seperti itu. Sekarang coba kamu dengar saran aku deh Yu. Jika kamu mencari laki-laki dewasa yang pikirannya polos tentang seorang perempuan, aku bisa bilang kamu ngimpi Yu. Mustahil, sangat mustahil. Sealim apa pun seorang laki-laki, di dalam pikirannya tetap ada gambaran seorang perempuan. Itu adalah kodrat mereka. Karena Tuhan pun mendewasakan mereka dengan cara seperti itu. Jangan bilang kamu tidak tahu tentang cowok yang mimpi basah". Ayu terdiam mendengar kata-kata Mimi. Walau pun sedikit, hati kecilnya membenarkan apa yang dikatakan Mimi.

"Tau ah.. Pusing aku. Yang jelas aku tidak akan menikah sampai ketemu dengan laki-laki yang menganggap hubungan sex adalah sebuah bonus, bukan hal yang utama". Usai berkata begitu, Ayu menyeruput capucinonya hingga tandas, lalu beranjak, kembali ke mejanya. Mimi yang ditinggalkan hanya bisa geleng-geleng kepala, dan kembali melanjutkan perkerjaanya yang tertunda.

****
"Mi, kamu kenal ga sama laki-laki yang pake kemeja coklat di ujung sana ?" Mimi menoleh, mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ayu. Dibalik jendela kaca, dia melihat seorang pemuda berpakain coklat sedang berbicara dengan beberapa orang pekerja di lapangan.

"Oh itu, ya kenallah, namanya Akbar. Dia karyawan baru di departemen marketing. Emang kenapa ?" jawab Mimi, sambil kembali memusatkan perhatian ke monitor didepannya.

"Ga da apa-apa sih. Cuma dia unik aja. Setiap kali kami bertemu atau berselisih jalan dia selalu menunduk, tidak melirik sedikit pun ke arahku. Orangnya pemalu ya ?"

"Bukan cuma sama kamu kali Yu, dia memang begitu sama semua perempuan. Dengar-dengar sih dia itu lulusan pesantren, jadi wajarlah kalau dia begitu"

"Ooo.. anak pesantren toh", desisnya pelan. Ayu tidak bertanya lagi. Segelintir rasa aneh menyelip dihatinya.
****
"Kamu serius mau di jodohin ?" tanya Mimi kaget ketika Ayu memberi tahu rencananya untuk mengikuti acara perjodohan yang digagas oleh ibunya. Tidak percaya karena Ayu yang selama ini berjiwa bebas dan anti perjodohan tiba-tiba mengambil keputusan itu. Begitu putus asakah dia mencari cinta ?

"Iya, ga ada salahnya kan mencoba. Lagian dari dulu kita kan diajarkan untuk patuh sama orang tua. Nah, ini adalah salah satu caraku mematuhi mereka. Lagian aku udah capek juga Mi, diusiaku yang sekarang udah ga saatnya lagi untuk bermain-main. Aku menginginkan hubungan yang serius", tukas Ayu mantap. Sepertinya dia telah membulatkan tekad untuk menerima perjodohan ini.

"Trus gimana kalo calonmu itu ternyata memiliki pikiran yang sama dengan mereka ? kamu batalin lagi ?" tanya Mimi lagi. Dia mencoba mengingatkan Ayu tentang kata-kata yang dia katakan sebelumnya.

"Ya pastilah.. Aku kan udah bilang gak mau nikah dengan laki-laki yang orientasinya adalah sex. Kamu lihat aja nanti, aku pasti menanyakan hal yang sama kepada lelaki itu. Ini adalah prinsip, aku ga main-main dalam hal ini". O..la..la.. Ternyata ga berubah, ujar Mimi dalam hati.
****
Hari yang dinanti pun tiba. Ayu telah siap dengan dandanan terbaiknya. Hari ini adalah hari pertemuan Ayu dan calon suaminya. Mereka sepakat mengadakan pertemuan di rumah Ayu, sekalian makan malam bersama. Ayu menunggu dikamar sambil memainkan hape.

Tok.. tok.. tok.. Suara ketukan terdengar di pintu kamar, Ayu bangkit dan membukanya. Rupanya ibu.

"Ayu.. ayo keluar. Keluarga Thahir udah datang tuh", ibu menggandeng tangan Ayu, membawanya keluar menuju ruang tamu. Beberapa langkah dari kamarnya, Ayu bisa mendengar ramai suara orang sedang bercakap-cakap.

"Dia bawa orang sekampung ya Bu ?", tanya Ayu berbisik ke telinga ibunya.

"Hush.. ga sopan bicara begitu", tegur ibu seraya melayangkan cubitan kecil ke lengan Ayu. Ayu meringis kesakitan, dan memutuskan untuk membungkam mulutnya agar tidak menjadi sasaran cubit dari ibunya lagi. Beberapa langkah dari ruang tamu, Ayu melihat satu sosok yang tidak asing dimatanya. Dia terkejut, sama halnya laki-laki itu pun terkejut. Langkah Ayu terhenti pas didepannya.

"Lho.. kamu Akbar kan ?" tanya Ayu spontan di hadapan lelaki itu. Mereka saling tatap beberapa saat. Akbar bangkit berdiri, namun tetap dengan kepala menunduk.

"Benar, saya Akbar, lengkapnya Dalil Akbar At Thahir. Orang-orang memanggil saya Akbar, tapi di keluarga saya dipanggil Thahir", ungkapnya kikuk.

"Lho.. kalian udah saling kenal toh ?" bapak bertanya heran melihat Ayu dan Akbar telah berbincang sebelum dikenalkan.

"Oh.. iya Pak, Akbar ini satu kantor dengan Ayu, cuma beda departemen", jawab Ayu memberi penjelasan.

"Wah.. kalau begitu bagus. Jadi pertemuan hari ini kita ganti temanya, bukan malam perkenalan lagi, tapi malam keakraban.. kan udah saling kenal", bapak berkata dengan semangat. Disambut dengan gelak tawa semua yang ada diruangan itu. Sementara Akbar dan Ayu hanya tersenyum malu dengan wajah merah.

"Ya udah.. Sekarang kalian ngobrol sana, biar kami yang tua-tua melanjutkan cerita kenangan tempo dulu", bapak lanjut memprovokasi Ayu dan Akbar yang sudah terpojok, dia menenteng lengan mereka berdua dan mendorongnya ke arah teras, lalu meninggalkan mereka berdua.

Selepas ditinggal bapak yang kembali kedalam, Ayu dan Akbar hanya saling pandang dengan canggung. Ayu lebih dulu duduk di salah satu kursi, sementara Akbar masih tetap berdiri dengan kedua tangan dimasukkan kedalam kantong. Dia bersandar pada tembok, beberapa langkah di samping Ayu. Suasana hening. Tidak ada diantara mereka yang berinisiatif memulai pembicaraan. Hanya suara jangkrik dan kodok yang bersahutan, mengisi kesunyian yang tercipta.

"Ehm.. ngg.. udah berapa lama kamu kerja di CIS ?" akhirnya Ayu buka suara, memecahkan keheningan yang membeku.

"Baru empat bulan.. ngg.. kamu sendiri udah lama ya ?"

"Lumayan.. setahun setengah kaya'nya udah.. sebelum disini kamu kerja dimana ?"

"Di Jakarta, tapi ditelponin ibu terus, disuruh pulang, 'ga tahan jauh-jauh dari anaknya' katanya", jawab Akbar dengan sedikit bergurau. Ayu tersenyum mendengarnya. Kekakuan mereka perlahan mulai mencair.

"Ngg.. sorry aku nanyain ini.. tapi tolong jawab dengan jujur.. kamu.. mengapa mau dijodohkan dengan aku ?" Ayu mencoba memuaskan rasa ingin tahunya. Sedari tadi ketika melihat Akbar di ruang tamu, pertanyaan  itu terlintas dikepalanya.

"Aku hanya ingin mematuhi ibu". Singkat, padat dan jelas. Akbar menjawab pertanyaan Ayu dengan mantap. Sejenak Ayu terpukau dengan ketegasan yang keluar dari suaranya. Membuat Ayu mendongak, ingin melihat mimik muka pemuda itu dengan jelas. Wajah itu tampak bersinar di bawah sinar bulan yang menyembul dibalik awan, Ayu terpesona.

"Bagaimana jika ternyata perempuan yang dipilihkan ibumu tidak sesuai dengan harapanmu ? Apa kamu masih mematuhinya ?" tanya Ayu lebih lanjut. Akbar tersenyum mendengar pertanyaan Ayu, menampakkan barisan giginya yang rapi.

"Harapanku ? Harapanku sama seperti harapan laki-laki pada umumnya. Dan ibu sebagai orang yang mengenalku dengan baik tentu memiliki harapan yang tidak jauh berbeda. Bahkan bisa jadi penilaiannya jauh lebih baik dari pada penilaianku. Karena itu aku berprinsip, selagi diriku belum bisa mengajukan wanita pilihanku sendiri, maka adalah salah jika aku tidak mencoba menerima wanita yang dia pilihkan untukku. Dia adalah ibuku, pasti memberikan yang terbaik untuk aku anaknya", matanya berbinar-binar ketika berbicara tentang ibunya. Tampak jelas Akbar sangat memuja ibunya. Ayu merasa kerdil membayangkannya. Tapi dia tidak mau menyerah, masih ada satu pertanyaan pamungkas yang menjadi penentu kelanjutan pembicaraan mereka berikutnya.

"Ngg.. ketika melihat aku, hal apa yang pertama kali kamu bayangkan jika kelak aku menjadi istrimu ?" akhirnya pertanyaan pamungkas itu meluncur dari mulut Ayu. Akbar terdiam mendengar pertanyaan Ayu, sepertinya dia kaget di sodorkan pertanyaan seperti itu. Tapi dia berusaha tenang, lalu menjawab pertanyaan itu.

"Yang aku bayangkan ya ? hal pertama yang aku bayangkan jika memiliki seorang istri adalah, menjadi imamnya. Akan bahagia sekali rasanya jika sholat lima waktu dan sunnah lainnya bisa dilakukan berjamaah bersama istri. Bisa dibayangkan betapa besarnya pahala yang didapat saat itu. Kamu tahukan Yu ? Semua hal yang dilakukan oleh suami untuk istri yang ikhlas karena Allah akan benilai ibadah dimata Allah. begitu juga sebaliknya. Hmm.. kalau membayangkan itu, aku jadi ga sabar buat menikah", ujar Akbar panjang lebar.

"Lalu bagaimana dengan.. hmm.. sorry.. tapi aku harus menanyakan ini.. apa pendapat kamu tentang sex ?" merasa tidak puas dengan jawaban Akbar, Ayu kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini lebih to the point, dia tidak lagi basa basi. Meski samar, Ayu bisa melihat wajah Akbar merona merah mendengar pertanyaannya. Tapi luar biasa lelaki ini, dia tetap tampak tenang, meskipun tidak lagi begitu nyaman.

"Sex ? apa yang istimewa dari itu ? menurut aku itu adalah hal yang paling pribadi untuk dibicarakan. Apalagi oleh dua orang non muhrim seperti kita. Maaf harus mengecewakanmu, aku tidak akan berkomentar apapun tentang itu. Karena menurutku sex itu bukanlah hal yang utama dari sebuah pernikahan", Akbar sepertinya cukup jengah dengan pertanyaan yang diajukan Ayu. Dia berusaha mengakhiri topik itu dengan sebaik mungkin. Dan Ayu memahami itu dengan baik. Dia tidak bertanya lagi, satu katup di hatinya telah terbuka mendengar perkataan Akbar tadi. Hatinya berbisik haru, masih ada.. ternyata masih ada laki-laki seperti ini.

****
Hari masih pagi, Ayu melangkah santai menuju ruang kerjanya di lantai dua. Dia tidak mempedulikan beberapa pasang mata memandangnya dengan heran. Dia terus melangkah menapaki satu persatu anak tangga hingga mengantarnya ke depan pintu ruangannya.

"Astaga ! Ayu ? benarkah ini kamu ? cantik sekali Yu", Mimi bersorak kaget ketika melihat Ayu memasuki ruangan. Ayu hanya tersenyum mendengar pujian itu, dan memasrahkan dirinya dipeluk dengan erat oleh Mimi.

"Katakan padaku apa alasan semua ini ?" Mimi menggenggam kedua tangan Ayu, matanya berkaca-kaca karena haru.

"Karena Allah Mi, aku ingin memantaskan diri agar berjodoh dengan laki-laki baik pilihanNYA", ujar Ayu dengan mantap. Setetes bening jatuh di atas kain lebar yang menutupi dadanya. Ya, setelah malam itu Ayu bertekad untuk merubah dirinya. Sesuai apa yang dia baca, wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, begitu juga lelaki yang baik juga untuk wanita yang baik. Dengan nama Allah, Ayu ingin menjadi wanita yang baik untuk Akbar calon suaminya.

~the end~







No comments:

Post a Comment


Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.

Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.