Wednesday, February 10, 2016

Diary Hati Yang Terlupakan

February 10, 2016 0 Comments
Sebenarnya aku bukan tipe orang yang mudah galau, dan bukan pula tipe orang yang suka mengumbar suasana hati ketika lagi galau. Justru sebaliknya, aku dengan gagahnya akan tetap tersenyum lebar meskipun suasana hati sedang dilanda prahara luar biasa. Ha..ha..ha...
*sok banget ga sih ?

Tapi, hari ini entah kenapa, aku pengen banget bercerita. Pengen kasih tahu ke dunia ini, kalo hati si Merida ini juga terbuat dari seonggok daging. Bukan batu karang, yang akan tetap berdiri tegar meski dihempas kerasnya ombak ribuan kali.

Jika bukan karena besarnya ego yang menopang, sudah pasti hati ini sudah luluh lantak oleh rasa sakit hati, kecewa, benci, amarah dan beragam emosi lainnya. Tapi aku bersyukur, karena memiliki ego yang cukup besar untuk menopang hati ini agar tetap stabil, sehingga mampu mengabaikan semua rasa yang mampu merusak hati itu.

Mereka bilang aku egois ?
Ya, aku akui. Aku sekarang egois.
Agar tidak terluka lagi, aku harus egois.
Agat tidak dikecewakan lagi, memang aku harus egois.

Dulu, ketika hati ini lemah, ketika hati ini mudah berempati, aku tak pernah ragu mengulurkan tangan, bahkan mengorbankan apa yang aku punya untuk membuat orang-orang yang aku sayangi bahagia. Bahkan, aku juga pernah 'rela' berjibaku dengan segala persoalan pelik tanpa melibatkan orang-orang yang aku sayangi. Saat itu dalam pikiranku cuma satu, aku harus menjadi 'seseorang' yang berguna bagi mereka. Aku ada, untuk mereka. Dan aku tulus, tanpa pamrih melakukannya untuk mereka.

Tapi, ketika suatu waktu. Bagaikan disambar kilatan listrik ratusan volt, ketika telinga ini mendengar cibiran mereka, ketika mata ini menangkap dengan jelas kata-kata mereka yang dengan tajam mengatakan aku adalah 'pahlawan kesiangan'. Saat itu juga, bumi yang aku pijak terasa runtuh seketika.
Hatiku menangis perih, sangat perih.

Berarti dianggap apa semua yang kulakukan selama ini ?
Aku tidak pernah pamrih dalam semua kebaikan yang aku lakukan, tidak juga mengharapkan pujian. Tetapi selayaknya manusia lainnya, sudah pasti aku juga tidak menginginkan cibiran, apa lagi hinaan.

Sudah cukuplah semua kebohongan yang memutar balikkan fakta yang mereka katakan tentang aku. Sudah cukuplah mata dan telinga ini menyaksikan semua kemunafikan itu.

Sekarang, hati ini ingin egois, mata ini ingin egois, dan telinga ini juga ingin egois.
Sudah saatnya, aku memikirkan kebahagiaan ku sendiri.
Sudah cukup yang ku korbankan selama ini, sekarang saatnya aku menatap dunia yang ternyata sangat luas.
Aku sendiri tidak yakin, apakah mereka masih mengingatku. Apakah di hati dan pikiran mereka ada seseorang bernama Merida. Karena sebisa mungkin aku tidak peduli tentang itu. Biarlah aku jadi bagian dari mereka yang terlupakan.

Aku sadar siapa aku.
Aku juga sadar siapa mereka.
Kita adalah satu ...

Karena itu aku tidak mendendam kepada mereka. Tidak juga menyimpan rasa benci untuk mereka. Aku hanya ingin menjauh, untuk menenangkan hati ini, agar tidak lagi tersakiti. Dalam setiap sujud, aku selalu berusaha menyempatkan diri merajut doa untuk mereka agar senantiasa diberi kesehatan, agar selalu diberi kemudahan rejeki, agar selalu dilimpahi kebahagian didunia dan juga kelak diakhirat.

Penutup doa ku hanya satu, semoga kelak jika kita bertemu lagi, hati ini tidak lagi terasa nyeri.