Thursday, April 2, 2015

[Cerpen] Elegi Dua Hati, Satu Cinta Dalam Diam

Qaf termangu, tergugu di depan monitor, menatap hampa ke layar yang telah tiga puluh menit dibiarkannya kosong tanpa aktifitas. Bayang-bayang Ainun menari bebas di matanya. Dia sadar, sebenarnya apa yang dia rasakan ini adalah dosa, membayangkan seorang wanita yang bukan muhrim adalah dosa, bahkan Uztad pernah bilang itu perasaan seperti itu termasuk zina hati. Tapi Qaf tidak berdaya, antara hati dan logikanya menolak untuk diajak kerjasama. Dia hanya bisa memendam semua rasa itu dalam diam, dan semakin menyadari ternyata jatuh cinta diam-diam itu sungguh terasa menyiksa.


Dia adalah Ainun, gadis manis putri bungsu Pak Kyai, gurunya semasa di pesantren dulu, semua yang ada pada dirinya membuat Qaf jatuh cinta.

Keelokan parasnya yang diimbangi dengan ketaatannya beribadah menjadikannya layak disebut sebagai bidadari yang jatuh dari syurga. Jika saja dia bukan putri Kyai yang gurunya itu, mungkin sudah lama Qaf meluapkan ribuan kata cinta kepadanya.

Tapi Qaf cukup sadar diri, dengan statusnya yang hanya seorang guru madrasah, dia merasa tidak cukup pantas untuk mendampingi Ainun.

Begitu banyak pemuda tampan dan berasal dari kalangan sepadan yang lebih pantas mendapatkannya. Sementara dia tidak memiliki apapun yang bisa ditawarkan untuk membahagiakan Ainun, saat ini yang dia miliki hanya seonggok hati yang didalamnya dipenuhi dengan luapan cinta.

Ya.. luapan cinta dalam diam.

Sebuah surat baru saja Qaf terima via pos. Dilihat dari tulisan di amplopnya Qaf sudah tahu, itu dari Ibu. Qaf menghela nafas panjang, firasatnya mengatakan isi surat ini tidak lebih dan tidak kurang dengan apa yang mereka bicarakan via telepon tempo hari.

Qaf mencari tempat duduk yang nyaman agar bisa membaca surat itu dengan tenang. Ternyata tidak salah firasat Qaf,   memang tepat dugaannya, ibu memintanya segera pulang karena dia ingin Qaf segera bertemu dengan keluarga Siti, wanita pilihan ibu.

Meski tidak begitu dekat, Qaf mengenal Siti. Mereka belajar di sekolah yang sama saat SD dulu. Dari yang Qaf tahu, Siti gadis yang baik. Terakhir bertemu ketika libur Idul Fitri tahun lalu. Qaf melipat surat itu, memasukkannya kedalam saku, dan segera pulang. Dia ingin mengadukan semua kegalauannya kepada Yang Maha Pemilik Hati. Tiada tempat terbaik selain DIA.

Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, setelah selesai membaca beberapa surat Al Qur’an hatinya bisa sedikit tenang. Ada sedikit kelegaan di ruang dadanya, tak lagi sesesak sore tadi. Seperti hari-hari sebelumnya, sebelum tidur Qaf mengecek alarm di ponselnya, memastikan setelannya tidak berubah di pukul 3 dini hari. Dalam kamarnya yang mungil, Qaf membaringkan badan dan segera memejamkan mata. Bayang-bayang Ainun semakin jelas dimatanya. Ahh.. semoga Allah mengampuni hati ini. Qaf beristighfar dalam hati.

Pukul 3 tepat, alarm di ponsel Qaf menepati janjinya, membangun lelaki itu untuk segera bermunajat kepada Yang Maha Berkehendak. Qaf terbangun, dan segera bangkit menuju sumur. Mengguyurkan air yang dingin di ruas-ruas badannya, berwudhu untuk merontokkan najis yang melekat di sekujur tubuh. Sesaat kemudian Qaf hanyut dalam doa-doa panjang di sajadah lusuhnya.

Air mata tampak meleleh di pipinya yang tirus. Betapa dia sangat membutuhkan bantuan dari Rabbnya. Disatu sisi dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan tidak memenuhi keinginan ibu, wanita yang telah melahirkannya. Disisi lain dia ingin memuaskan keinginan hati sendiri, untuk mempersunting wanita sholeha yang dia cintai sepenuh hati. Namun semua ketidak sempurnaan dirinya menjadi tembok pembatas yang sangat tinggi untuk ia lompati.

Dia hanya bisa menangis sesegukan di malam-malam panjang, memohon di beri petunjuk agar bisa melangkah dengan benar. Dengan lirih dia berdoa, Ya Allah sekiranya apa yang dipilihkan oleh ibu adalah yang terbaik bagi hamba, berikan hamba keikhlasan hati untuk menjalankannya. Hilangkanlah bayang-bayangnya dari hati dan pikiran hamba. Ya Allah sekiranya rasa yang hamba miliki bukan sebuah dosa, beri hamba kesempatan untuk memiliki hati ini ya Allah. Hamba menyadari sepenuhnya tiada harta berharga yang bisa ditawarkan sebagai mahar. KepadaMU hamba serahkan semua keputusan, karena hamba yakin, pilihan dari MU adalah yang terbaik untuk hamba.

Sore ini hari jumat, seperti biasa Qaf menghadiri pengajian yang dipimpin oleh Kyai Arif. Sosoknya yang kharismatik membuat mesjid selalu penuh sesak oleh jamaah yang ingin mencari pencerahan jiwa. Tadi sebelum berangkat Qaf telah membulatkan tekad, sebelum membalas surat dari Ibu, dia akan menemui Kyai Arif. Meskipun hatinya nyeri karena pesimis, namun rasanya itu adalah langkah terbaik yang bisa dilakukannya agar hati ini lega dan tak lagi penuh praduga.

Qaf memilih duduk di barisan tengah, diantara jamaah yang kebanyakan anak muda. Tidak seperti biasanya, kali ini Kyai Arif membawa semua putra putrinya dalam pengajian. Di samping beliau berjejer dari Ummi, Fatih, Mizan dan si bungsu Ainun. Dalam balutan mukena berwarna putih, Ainun tampak bersinar seperti malaikat. Qaf semakin terpukau dibuatnya, buru-buru dia menundukkan pandangan, sebisa mungkin dia ingin menyembunyikan perasaannya dari semua orang. Terutama dari Kyai yang duduk hanya beberapa langkah di depannya.

Sejak awal Kang Agus membuka acara hingga sekarang Qaf merasa kedua kakinya lemas tak berdaya. Bahkan jiwanya terasa melayang ketika Ainun melantunkan ayat suci. Suaranya yang begitu merdu mendayu-dayu direlung hati Qaf. Membuatnya sesaat berhenti bernafas karena takjub. Jantungnya semakin berdetak tidak normal, terlebih lagi ketika beberapa kali saat berceramah mata Kyai tertuju kearahnya, Qaf merasa ditodong oleh sepucuk senapan dengan peluru yang siap muntah di kepalanya. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Hanya bait-bait doa yang bisa dilantunkannya dalam hati, memohon diberi kekuatan agar nanti selesai acara bisa menghadap Kyai dengan baik.

Detak jantung Qaf berdetak semakin cepat, karena Kyai telah mengakhiri ceramahnya, dan dilanjutkan dengan doa. Berarti tinggal hitungan menit, gilirannya tiba. Qaf menarik nafas panjang,  dengan membaca basmalah, dia bersiap untuk bangkit begitu pembacaan doa usai.

Tiba-tiba Kang Agus meminta semua jamaah agar duduk kembali karena ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Kyai Arif. Mendengar permintaan Kang Agus, serentak semua jamaah yang semula telah berdiri hendak pulang, dengan tertib duduk kembali. Terdengar kasak-kusuk disana-sini, ada yang bertanya ada apa ? ada yang memasang muka heran, dan ada juga sebagian yang mulai sibuk bisik-bisik menggosipkan sesuatu. Tapi apa pun itu, sedikit banyak mampu mengurai ketegangan di hati Qaf.

Sesaat kemudian terdengar suara Kyai mengucap salam, dan dijawab serentak oleh semua jamaah. Selanjutnya dengan suara yang sangat tenang dan berwibawa Kyai pun berkata,

“Jamaah sekalian yang dirahmati Allah, sebelumnya saya memohon maaf, menyita waktu dan perhatian jamaah sekalian demi mendengarkan sebuah pengumuman dari saya. Pada hari ini, Jumat, hari yang penuh berkah, semoga keberkahan senantiasa menyertai setiap abjad yang akan saya sampaikan nanti. Dengan mengucapkan bismillaahirrahmaanirrahiim, dengan ini saya umumkan bahwa dalam waktu 30 hari dari sekarang insya Allah akan dilangsungkan pernikahan antara putri bungsu saya Siti Ainun Khairunnisa dengan ...” sesaat Kyai menggantung kalimatnya, matanya bergerak mengitari seluruh ruangan yang mendadak tegang menanti kata-kata Kyai selanjutnya.

Qaf sendiri nyaris jatuh pingsan karena tidak percaya, jantungnya berdetak sangat kuat seakan hendak melompat keluar. Matanya tak berkedip menatap Kyai yang masih diam menggantung kalimatnya. Suasana mesjid senyap semua orang menunggu dengan tenang.

“Dengan mengucapkan bismillaahirrahmaanirrahim, saya memilih ananda Muhammad Qaffah untuk menjadi imam bagi ananda Siti Ainun Khairunnisa, kepada ananda Qaffah mohon siapkan hafalan Al Qur’an 30 juzz sebagai mahar”.

Subhanallah, serempak semua jamaah mengucapkan selamat dan menyalami Qaf yang masih bengong dan tergugu tak percaya.

Benarkah yang barusan dia dengar ?
Tidak bermimpikah dirinya ?
Nyatakah ini ?
Kyai Arif memilihnya sebagai imam Ainun ?

Qaf masih terpaku diam di tempat duduknya. Tapi didalam hatinya ribuan zikir terlafaz dengan haru, dan tanpa disadarinya setitik bening menetes di sudut matanya. Tanpa pikir panjang lagi dia segera berlari mendekati Kyai Arif yang duduk tenang di depannya. Meski samar, namun garis-garis haru itu pun tampak menggurati wajahnya. Qaf tunduk takzim di hadapan Kyai Arif, menyalaminya dengan penuh hormat, menitikkan air mata haru atas keputusannya yang tidak biasa itu.

Sementara Ainun tertunduk malu disamping ayahnya, sejenak mereka sempat saling bertatap mata. Hanya sesaat, walau hanya sesaat Qaf bisa merasakan ada cinta di mata itu. Cinta yang sama dengan yang ada dihatinya. Cinta yang terpatri dalam diam, yang bersemayam diam-diam di hati yang begitu tulus karena Allah. Hati Qaf berdesir dengan indah, seindah lantunan ayat suci yang sayup-sayup mulai diputar menjelang azan maghrib. 



No comments:

Post a Comment


Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.

Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.