Monday, February 23, 2015

[Cerpen] Cinta Tiga Kata

Namaku Don, tapi teman-temanku banyak yang memanggilku Oon. Bukan berarti aku bloon ya, meskipun aku ga terlalu pintar, tapi aku juga ga bodoh-bodoh amat, tengah-tengahnya lah :D Aku dipanggil Oon bukan tanpa sebab, tetapi dikarenakan semasa sekolah dulu, guru salah menyebut namaku ketika memanggilku di daftar hadir. Tulisanku yang rada-rada mirip tulisan dokter menyulitkan guru untuk membedakan antara huruf D dan O yang kutulis. Jadilah aku di panggil Oon oleh teman-teman sekelasku masa itu, hingga terbawa sampai sekarang.

Di usiaku yang 20 tahun ini, aku berprofesi sebagai supir angkot. Miris memang, ketika teman-teman seumuranku tengah sibuk berkutat dengan segala diktat di bangku kuliah, sementara aku harus bergelut dengan debu jalanan di antara bisingnya jalanan kota. Tapi aku tidak berkecil hati, semua ini aku lakukan dengan ikhlas, karena semenjak kematian Bapak satu tahun yang lalu, otomatis tugas dan tanggung jawab kepala keluarga jatuh kepada ku. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara aku harus berkerja keras membantu ibu dan ke dua adik kembarku.

Tidak ada yang perlu disesali memang, meskipun impian untuk duduk di bangku kuliah itu terus ada, tapi aku memilih untuk memendamnya sedalam mungkin, karena saat ini aku lebih fokus untuk membiayai ke dua adikku yang satu tahun lagi juga menamatkan pendidikannya di bangku SMU. Ya.. inilah aku si supir angkot yang terus optimis ditengah gempuran kondisi yang serba ekonomis :D

Namanya Nisa, dia remaja seumuran adik kembarku. Wajahnya manis dan sikapnya sopan. Dia adalah salah satu dari sekian banyak murid sekolah yang menjadi pelanggan tetapku. Setiap hari dia dan beberapa orang temannya selalu menumpang angkot ku untuk pergi dan pulang sekolah. Semacam carteran begitu. Setiap hari sekitar 30 menit berada di tempat yang sama walaupun dengan status aku supir dia penumpang, tak urung telah membuat hatiku berdebar tak menentu. Tiga kata darinya yang setiap hari kurindukan adalah "terimakasih ya bang". Ya itu adalah kalimat yang selalu dia ucapkan kepadaku seraya membayar ongkosnya. Hanya tiga kata, tapi kata-kata itu terngiang terus ditelingaku siang dan malam.

"Udah bang, tembak aja, ntar keburu disambar orang lho", ujar Ucup si kernet siang itu ketika selesai mengantar Nisa. Aku menggeleng dengan mata tak lepas dari jalan. "Emang kenapa bang, dia cantik, abang ganteng, cocok kok bang", Ucup berkata lagi dengan polosnya. Aku hanya tersenyum, tak mau menanggapinya. Hati kecilku sebenarnya tidak sepenuhnya menyalahkan Ucup, tapi aku cukup sadar diri, Nisa siapa aku siapa ? Nisa itu putri tunggal cukong kayu didaerahku, aku kenal orang tuanya karena Alm. Bapak dulu adalah salah satu buruhnya. Dengan asset kekayaan orangtuanya yang bejibun itu aku sudah bisa bayangkan masa depan cerah telah membentang dihadapannya. Nah aku sendiri hanyalah seorang supir angkot yang cuma tamatan SMU. Betapapun tulusnya rasa cinta ku kepada Nisa, aku cukup tahu diri untuk tidak merusak masa depan cerahnya dengan melabuhkan roman picisan ku kehatinya. Biarlah rasa ini kusimpan sendiri, dengan harapan jika suatu saat Tuhan jodohkan aku dengan dia semoga dengan kondisi diriku yang telah pantas untuknya.

Waktu berlalu dan tahun pun berganti. Tak terasa satu tahun pun berlalu. Tahun ini hatiku diliputi rasa bahagia yang luar biasa. Ada beberapa alasan mengapa aku bahagia. Satu, karena adik kembarku lulus SMU dengan nilai yang sangat memuaskan dan mendapat beasiswa pendidikan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Andalas. Dan aku sendiri dengan berbekal tabungan dua tahun terakhir juga diterima di Universitas Negeri Padang. Walaupun beda universitas, tapi kami berada di satu kota. Berarti aku tetap bisa bersama-sama dengan kedua adik yang sangat aku kasihi. Mengingat ibu tinggal seorang diri, aku pun merayu ibu agar bersedia pindah ikut kami ke Padang. Dengan iming-iming dibukakan usaha catering dan warung sarapan, ibupun akhirnya bersedia ikut dengan kami ke Padang, agar rumah peninggalan dari almarhum Bapak tetap terawat maka kami memutuskan untuk menyewakannya kepada orang-orang terdekat.

Kami berangkat selepas subuh menggunakan bus umum menuju kota Padang. Tidak ada halangan berarti sepanjang perjalanan kami. Wajah-wajah sumringah terpancar jelas di wajah kedua adikku. Hati ku turut bahagia melihat kebahagiaan mereka. Sesampai di Padang, aku segera menghubungi Asril, teman SMU ku dulu yang lebih dulu kuliah disana. Berkat dirinya aku tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan rumah kontrakan yang dekat dengan kampus dan berada dilingkungan kos-kosan mahasiswa. Rahmat Allah benar-benar dapat kurasakan dalam setiap langkahku. Karena semua yang kami rencanakan berjalan dengan sangat lancar tanpa ada hambatan berarti.

Tak terasa sebulan sudah kami berada di kota ini. Usaha catering ibu alhamdulillah berjalan lancar, kuliah aku dan adik-adikku juga berjalan mulus. Sebagai pria satu-satunya, aku tidak mau semata-mata mengandalkan ibu sebagai pencari nafkah. Namun mengingat aku sekarang tak lagi bebas seperti dulu, karena telah terikat dengan jadwal perkuliahan mau tidak mau aku harus mencari perkerjaan yang waktunya fleksibel dan bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah. Aku mencoba berdiskusi dengan Asril yang lebih senior dan mengenal seluk beluk kota Padang lebih baik. Berkat saran darinya, akhirnya aku mencoba memasukkan lamaran ke salah satu warnet yang buka 24 jam. Setelah bertemu dengan pemilik warnet yang alhamdulillah orangnya sangat baik, aku diterima kerja dengan shift khusus yaitu senin-jumat pukul 16:00 - 24:00, Sabtu-Minggu pukul 08:00 - 20:00. Dengan jadwal kerja seperti ini aku sangat beruntung, karena tidak bentrok dengan jadwal kuliahku yang padat dari pagi hingga sore. Tak lupa aku meminta restu ibu agar semua urusan ku diberkahi Allah.

Namanya Mitha, lengkapnya Paramitha. Gadis manis asal Bukit Tinggi. Aku mengenalnya lewat salah satu teman yang aktif di rohis. Orangnya santun, namun keaktifannya di organisasi telah melahirkan bakat-bakat manajerial yang sangat bagus pada dirinya. Ketika berbicara suaranya lembut, namun terdengar tegas dan berwibawa. Oya ada satu ciri khasnya yang membuat orang selalu betah berbincang dengannya, yaitu senyum manis yang selalu menghadirkan lesung pipi di pipi kirinya.

"Gimana Don ? kau tertarik ?", Asril menggodaku ketika aku tengah asyik mengamati Mitha diantara teman-temannya. "Maksudmu ?" aku balik bertanya kepada Asril. Mendengar pertanyaanku itu Asril malah tertawa sambil menggelengkan kepala. Kini balik aku yang heran melihat sikapnya. "Don..Don..muka mu itu ga bisa bohonglah. Kau suka kan sama Mitha ?" tuding Asril tanpa basa-basi. "Suka ? normallah kalo cowok suka sama cewek hebat seperti dia. Cuma aku sadar diri Ril, dia siapa aku siapa ?" sebisa mungkin aku berkelit dari tudingan Asril. Sebenarnya lamat-lamat aku mulai tertarik dengan sosok Mitha, namun bayang-bayang Nisa masih menari bebas di pelupuk mataku dan aku sendiri tidak pernah tahu kapan bisa menghilangkan bayang-bayang Nisa dari kehidupanku.

Sesekali waktu, Ucup mantan kernet ku masih menghubungi. Kami berbagi kabar masing-masing. Kabar terbaru darinya yaitu sekitar seminggu lalu, dia mengabarkan bahwa dia telah menikah dengan Wulan anak Pak RT dan sekarang sudah tidak jadi kernet lagi, karena mertuanya memberi dia modal usaha membuka sebuah kios pulsa plus kios bensin. Aku turut bahagia mendengar perkembangannya. Ucup memang pantas mendapatkan kebaikan seperti itu mengingat dirinya yang yatim piatu dan juga sholeh yang tak pernah meninggalkan sholat lima waktunya. Dua minggu sebelumnya Ucup mengabarkan bahwa Nisa sekarang berada di Semarang, dia kuliah jurusan kedokteran di Universitas Diponegoro. Sedikitpun aku tidak terkejut mendengar pilihan jurusan yang dia ambil, karena dari cerita yang kudapat, dia memang terkenal pintar disekolah. Meskipun tidak ada hubungan dengan ku, namun aku turut berbahagia mendengar kabar tentangnya, dan sedikit banyak semakin menciutkan nyaliku untuk sekedar menaruh harapan bersamanya kelak. Aku merasa jurang diantara kami semakin dalam.

Dalam hal berorganisasi sebenarnya aku tidak begitu tertarik, karena jujur saja aku tidak begitu bagus dalam berkomunikasi. Bahkan jika sudah berhadapan dengan orang banyak keringat dingin selalu membasahi tubuhku. Namun Asril tidak bosan-bosannya mengajakku untuk ikut berorganisasi di kampus. Setelah kupikir-pikir sepertinya tidak rugi juga berorganisasi, selain menambah teman juga menambah relasi. Karena sebagian besar alumni masih aktif sebagai penasehat di organisasi kampus. Nah hal ini lah yang aku sukai, karena menurutku hubungan yang baik dengan alumni bisa membuka peluang atau harapan karir dimasa depan. Insya Allah. Setelah mengamati beberapa organisasi dikampus, akhirnya pilihanku jatuh kepada rohis. Aku tertarik dengan program-program mereka yang bertemakan islam. Namun pilihan ku ini diledek habis-habisan oleh Asril, karena menurutnya pilihan ku bergabung dengan rohis karena ada Mitha, bukan yang lain. Aku geleng-geleng kepala saja mendengar ledekannya, tapi ga muna sih, itu juga salah satu alasannya hehe

Keikut sertaan ku di rohis secara tidak langsung membuat hubunganku dengan Mitha semakin dekat. Aku tidak bisa dan juga tidak mau menyebut hubungan kami ini sebagai hubungan pacaran, namun kami juga sadar bahwa kami bukan teman biasa. Dia sering memberi aku masukan-masukan positif sehubungan kuliah atau pun organisasi, dan aku juga sebaliknya. Jika ingin berpergian dia sering pamit kepadaku via sms. Banyak teman-teman yang menduga kami pacaran, namun kami serentak sama-sama membantah. Kami memegang prinsip yang sama, tidak ada pacaran dalam Islam. Titik.

Waktu menunjukkan pukul 23:15 WIB, aku baru saja selesai mandi sepulang dari warnet tempatku berkerja. Ketika bersiap-siap untuk tidur tiba-tiba aku dikagetkan oleh nada dering ponselku yang cukup nyaring. Kulirik nama pemanggilnya dan tertera nama Ucup disitu. Ucup ? ada apa dia telpon malam-malam begini ? aku membatin heran.

"halo, assalamu'alaikum"
"wa'alaikum salam. Ini Ucup bang"
"ya .. tahu. Ada apa Cup, tumben telpon malam-malam gini"
"ya bang, maaf bang, tapi ada kabar duka ni bang"
"hah ?!!" aku tersentak kaget, dan bangkit dari tidurku.
"ya bang, itu Pak Bandi, ayahnya Nisa meninggal bang, dibunuh sama orang ga dikenal. Trus ibunya ditemukan terikat dan sekarat di balik tangga"
"yang bener kamu Cup ? Kapan kejadiannya ?
"kejadian persisnya ga tau bang, kita semua taunya tadi sore pas di kilang kayu miliknya itu rame polisi. Rupanya ditemukan mayat di sumur tua yang udah ga di pake. Dan mayat itu rupanya mayat Pak Bandi bang"

Kakiku mendadak lemas mendengar berita dari Ucup. Karena memang tidak menyangka sama sekali nasib Pak Bandi akan berakhir tragis seperti itu. Apalagi selama ini Pak Bandi itu terkenal baik dan suka menolong kaum lemah. Keluargaku sendiri adalah salah satu keluarga yang rutin menerima bantuan sembako dari Pak Bandi. Namun persaingan bisnis sepertinya adalah salah satu pemicu terjadinya tragedi mengerikan ini.

Berita tentang kematian Pak Bandi rupanya telah sampai ke telinga ibu dan kedua adikku. Bahkan dari cerita yang mereka dapat, rumah kediaman Pak Bandi pun dirampok, semua barang berharga seperti uang dan perhiasan ludes tak bersisa. Kami semua shock dan tak percaya dengan berita yang kami dengar. Sebisa mungkin aku mencari berita yang lebih lengkap terutama sehubungan dengan Nisa. Kalau saja saat ini bukan minggu-minggu sibuk ujian semester mungkin aku telah meluncur ke kota kelahiranku itu. Namun keinginan itu aku tahan sekuat mungkin. Terlebih lagi keesokan harinya aku mendapat kabar dari Ucup, bahwa Nisa pulang dan mengurus pemakaman orang ayahnya. Sementara ibunya masih terbaring koma di RS.

Beberapa bulan berlalu setelah peristiwa naas itu, aku mendapat kabar yang lumayan baik. Ibu Nisa sudah sadar dari komanya, dan sekarang dia dibawa oleh Nisa ke Semarang. Dengar-dengarnya sih di Semarang masih ada saudara jauh almarhum ayahnya. Jadi untuk sementara Nisa dan ibunya menumpang disana. Bisa aku bayangkan betapa sulitnya kondisi Nisa saat ini, karena dia yang terbiasa hidup dalam keadaam mewah dan berkecukupan sekarang harus bisa menahan diri dan hidup menumpang dirumah saudaranya. Nisa dan keluarganya bisa dikatakan bangkrut karena setelah kematian ayahnya, bukan warisan yang dia dapat, justru tumpukan hutang yang harus diselesaikannya. Rupanya usaha ayahnya tidak berjalan bagus belakangan ini dan dia terlilit hutang yang cukup besar dengan rekan bisnisnya. Satu-satunya cara agar masalah hutang piutang itu selesai hanyalah dengan menyerahkan kilang kayu kepada mereka. Dan Nisa harus merelakan itu semua agar dia dan ibunya bisa hidup tenang jauh dari debt collector. Rumah mewah mereka juga harus diikhlaskan untuk disita oleh bank, karena beberapa bulan sebelumnya almarhum Pak Bandi baru saja mengajukan pinjaman uang dengan sertifikat rumah sebagai jaminannya. Sekarang yang tersisa hanya Nisa, ibunya dan sejumlah uang di tabungan yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Itulah kabar terakhir dan terlengkap yang aku dapat dari Ucup seputar Nisa dan keluarganya. Aku berdoa dalam hati, semoga Nisa diberi ketabahan dalam menjalani semua cobaan ini.

Satu tahun berselang, hari yang membahagiakan itu pun tiba. Aku lulus !! Yeay.. Yang lebih membahagiakan lagi hari kelulusanku bersamaan dengan kedua adik kembarku. Rona kebahagiaan terpancar jelas dimata ibu, hilang sudah semua penat, musnah sudah semua perih, semua sakit yang dirasakannya dalam menafkahi kami seolah-olah terbayar pada hari ini. Kami sungguh bangga kepada ibu, yang bertahan dan kukuh pada pendiriannya untuk tidak menikah lagi, lalu membulatkan tekadnya untuk berjuang demi pendidikan kami. Dan semua perjuangannya tidak sia-sia, di atas sana aku bisa membayangkan arwah Bapak pun tersenyum melihat kami. Pak.. anak-anakmu udah lulus kuliah.. Bapak bahagiakan disana ?

Tanpa perlu menganggur dalam waktu lama, aku pun diterima berkerja sebagai salah satu staff di perusahaan konsultan. Kedua adikku pun beruntung telah diterima sebagai honorer di dua sekolah yang berbeda. Sementara ibu masih tetap dengan warung sarapannya. Meski kami telah melarangnya untuk berkerja, tapi dia menolak dan tetap ngotot untuk jualan. Tapi ibu berjanji untuk tidak lagi memaksakan diri seperti dulu, karena mengingat usianya yang beranjak senja, sudah semestinya dia beristirahat dari perkerjaannya itu.

Suatu malam, ketika kami tengah santai diruang keluarga, tiba-tiba ibu memanggilku dan mengajakku ke beranda.
"ada apa bu ?" tanya ku heran
"sini, duduk lah. ada yang mau ibu bicarakan" jawab ibu dengan lembut. Aku pun menurutinya, lalu mengambil kursi dan duduk di hadapannya."tahun ini berapa umur mu Don?
"hmm.. berapa ya (berpikir sesaat) 25 tahun bu"
"25 tahun... kapan kamu berencana untuk menikah ?"
"belum kepikiran tuh bu, Don aja baru 6 bulan kerja belum punya apa-apa untuk kesana"
"kalo ibu maunya kamu segera menikah nak, ibu udah ga sabar mo nimang cucu". Aku tersenyum mendengar perkataan ibu. "ibu yang sabar ya, Insya Allah kalo aku udah punya modal yang cukup aku pasti menikah"
"ngomong-ngomong calonnya kamu sudah ada kan ? siapa namanya ? Nita ? Mitha ? siapa ya ibu lupa .. kalo ga salah ada 'ta-ta'nya gitu"
"belum bu, kalo yang ibu maksud itu Mitha, aku dan dia ga pacaran kok bu, kami berteman biasa saja"
"lho.. tapi Asril bilang kalian pacaran, beberapa kali Mitha itu juga ada mampir kesini, beli sarapan diwarung ibu, ibu suka sama dia, anaknya sopan dan juga sederhana"
"omongan si Asril ga usah ibu percaya, yang jelas aku dan Mitha itu ga ada hubungan seperti itu. Cuma jika Allah menjodohkan aku dengan dia, Insya Allah aku juga ga nolak, karena secara pribadi aku juga menyukai sikap dan sifatnya bu, sekarang aku minta doa yang banyak dari ibu, semoga aku bisa segera ngumpulin uang yang banyak, agar bisa beli rumah untuk kita, aku ga mau kita ngontrak terus bu, setelah itu terwujud baru aku menikah"
Sepertinya ibu mengerti dengan semua penjelasanku. Semenjak malam itu, dia tak pernah lagi mengungkit-ungkit masalah pernikahanku.

Hari ini, aku ditugaskan oleh perusahaan untuk melakukan perjalanan dinas ke Semarang. Berangkat dengan penerbangan pagi, aku sampai di Semarang sekitar jam 2 siang. Setelah mengisi perut, sholat dan istirahat sejenak, kemudian aku melanjutkan perjalanan ketempat tujuan. Disana aku disambut oleh seorang resepsionis yang langsung menyodorkan agenda kegiatanku untuk 3 hari kedepan, katanya itu adalah revisi dari susunan agenda yang dikirim via email sebelumnya. Keningku sedikit berkerut membaca agenda tersebut, karena ada beberapa tempat yang sebelumnya tidak ada dalam agenda kerjaku ternyata harus ku datangi. Seandainya masih berada di Padang, sebenarnya aku bisa sedikit protes kepada atasan, cuma karena terlanjur sudah ada di sini aku harus menunjukkan sikap profesionalku dalam berkerja.

Tak terasa hari ini adalah hari terakhir perjalanan dinasku, pagi ini agenda ku adalah mengunjungi RSJD Dr.Amino Gondohutomo. Beberapa tahun yang lalu perusahaanku memenangkan tender pembuatan taman di SR ini. Karena cukup puas dengan hasil yang diberikan, ternyata pihak RS menghubungi kembali untuk membuatan taman di belakang RS. Sebuah taman di RSJ memang sangat dibutuhkan bagi perkembangan kejiwaan pasien disana. Pemandangan yang indah, suasana yang tenang, udara yang bersih dan segar adalah point-point utama yang bisa memberikan ketenangan kepada semua orang.

Didampingi oleh Pak Yanto, Humas RSJ ini, aku berjalan-jalan mengelilingi areal yang rencananya akan dijadikan taman tersebut. Ketika sedang serius mengamati areal itu, tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan yang aku kenal. Aku mencoba mendekati sosok tersebut, namun dia menghilang di balik pasien-pasien lainnya. Aku kembali mencoba mencarinya karena aku penasaran ingin memastikan bahwa dia adalah orang yang aku kenal atau bukan. Tapi usahaku tidak berhasil. Pak Yanto ternyata mengamati sikapku yang seperti orang kebingungan, dan dia pun menghampiriku.

"Ada apa Pak Don ?"
"Eh.. oh ..anu.. itu tadi saya ada nampak seseorang yang sepertinya saya kenal"
"Oh ya ? siapa pak ? maksud saya dia pasien atau pegawai RS ini ?"
"Sepertinya pasien Pak, karena dia memakai baju yang sama dengan pasien yang lain"
"Oh ya ? kalau boleh saya tahu namanya siapa pak ? biar saya bantu cek kan di bagian administrasi"
"Wah terimakasih banyak nih pak, jadi merepotkan bapak, namanya Nisa, lengkapnya Khairunnisa Soebandi"
"Baik Pak Don, mari ikut saya ke ruangan administrasi, kita cek sama-sama"

Sesampai diruangan administrasi, Pak Yanto segera memberikan nama tersebut kepada salah satu staffnya, namun tidak ditemukan nama tersebut di database pasien. Kalaupun ada yang bernama Khairunnisa, tapi nama belakangnya berbeda. Ada perasaan lega di hatiku mendengar kata-kata Pak Yanto. Lagian ga mungkinlah Nisa ada disini. Dia pasti tengah sibuk dengan kuliahnya yang beberapa semester lagi selesai.

Aku bersiap-siap untuk segera kembali ke Padang, meskipun hanya beberapa hari tak bertemu, namun aku sudah luar biasa rindu kepada ibu dan kedua adikku. Ponselku berkedip, mengisyaratkan adanya pesan baru masuk rupanya dari Mitha.

"Assalamualaikum Bang, apa kabar ? Sehatkan bang ? Mitha mau kasih tau abang, besok Abah dan Ummi datang dari kampung. Hmm.. bolehkah Mitha memberitahu tentang abang kepada mereka ?"

Hatiku berdegup tak menentu membaca SMS dari Mitha. Ini adalah sebuah isyarat bahwa Mitha ingin mengenalkan aku kepada keluarganya. Bagi kami yang tidak mengenal pacaran, SMS seperti ini adalah SMS sakral yang bermakna hubungan yang lebih dalam.

"Wa'alaikum salam. Alhamdulillah abang sehat Mit :) Tolong sampaikan salam abang kepada Abah dan Ummi, Insya Allah besok malam abang dan ibu akan berkunjung"

Setelah memeriksa dan memastikan semua barang-barang tak ada yang tertinggal, aku pun checkout dan segera memanggil taksi menuju bandara. Lalu lintas tidak begitu ramai siang ini, sehingga taksi yang kutumpangi bisa melaju dengan tenang dan sampai di bandara lebih awal. Jam di bandara menunjukkan pukul 9:15 itu berarti masih ada waktu 2 jam lagi menjelang keberangkatanku. Agar tidak bosan menunggu, akupun berjalan-jalan mencari tempat duduk yang nyaman untuk santai sejenak. Tiba-tiba aku merasakan getaran ponsel di kantong celana sebelah kanan. Aku melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal dan juga satu pesan masuk di layar ponsel. Aku segera membaca pesan itu, rupanya dari Pak Yanto Humas RSJ Semarang.

"Selamat pagi Pak Don, maaf saya mengganggu waktu Bapak. Ada yang mau saya tanyakan sehubungan dengan nama orang yang bapak cari kemarin. Bapak ada waktu ? Bisa hubungi saya ?"

Tanpa pikir panjang lagi aku segera menghubungi Pak Yanto. Sepertinya Pak Yanto memang sedang menunggu aku menghubunginya kembali, karena hanya dalam 2x deringan terdengar suara sahutan dari seberang.

"Selamat pagi Pak Yanto, maaf saya baru baca sms bapak, ada apa ya pak ?"
"Oh ya, tidak apa-apa Pak Don, justru saya yang minta maaf karena sudah mengganggu waktu bapak"
"Sama sekali tidak Pak Yanto, ada apa ya pak, saya jadi penasaran ni"
"Begini Pak Don, mengenai orang yang bapak minta carikan di database kemarin itu.."
"Oh ya .. namanya Khairunnisa Subandi.. memangnya kenapa pak ?"
"Ada yang mau saya tanyakan Pak Don, apakah Khairunnisa yang bapak cari itu mahasiswi kedokteran UNDIP ?" Degh ! jantungku langsung berdetak tak enak mendengar pertanyaan Pak Yanto.
"Benar Pak, apakah ada informasi terbaru ?"
"Ada Pak Don, kebetulan anak saya juga kuliah di sana, dari dia saya dapat kabar bahwa Khairunnisa yang bapak cari sekarang sedang di rawat di RSU Dr.Kariadi"

Tungkai kaki ku terasa lemas tak bertenaga mendengar berita yang sangat mengejutkan dari Pak Yanto, tanpa membuang waktu lebih lama, segera ku tarik koper meninggalkan bandara dan pergi menuju RSU Dr.Kariadi. Berbagai macam pertanyaan bergelayut di benakku meminta untuk segera diberi jawaban. Syukurlah Pak Yanto dan Budi anaknya bersedia untuk menemuiku. Kami berjanji bertemu di RSU Dr. Kariadi.

Dari Budi aku mendengar cerita yang sangat menyedihkan tentang Nisa. Nisa semenjak awal kuliah sangat menarik perhatian banyak orang karena kecantikan dan juga kepintarannya. Sehingga dia menjadi bunga kampus. Namun Nisa yang dengan segala kelebihannya tetap rendah hati, dan dengan sopan dia menolak semua pemuda yang berniat memacarinya. Sehingga malapetaka itu terjadi. Sammy putra salah seorang pengusaha terkenal, jatuh cinta kepada Nisa. Tabiat Sammy yang terkenal nakal dan playboy membuat Nisa langsung menolak cintanya. Karena tersinggung cintanya di tolak, kemudian Sammy dengan beberapa orang teman dekatnya menculik Nisa, menganiaya bahkan memperkosanya. Kejadian ini sontak menggegerkan kampus, namun kekuasaan ayah Sammy yang pengusaha itu mampu meredam hiruk pikuk kampus, Sammy yang terbukti bersalah tidak di tahan namun di kirim ke luar negeri, sementara sebagai bentuk pertanggung jawaban mereka segala biaya perawatan Nisa ditanggung sepenuhnya oleh ayah Sammy. Pasca penganiayaan yang dialaminya Nisa mengalami geger otak dan koma sehingga dia tidak berdaya menghadapi orang tua Sammy yang otoriter itu. Sejak peristiwa itu kondisi Nisa bukannya membaik, namun semakin menyedihkan. Meskipun dia dirawat dengan segala peralatan canggih kedokteran, namun kesehatannya tidak juga membaik. Bahkan beberapa minggu terakhir kondisinya semakin memburuk.

Hatiku terenyuh melihat tubuh kurus dan pucat yang terbaring lemas di hadapanku. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Bagaimana mungkin Nisa mengalami semua kejadian tragis ini ? Tapi hanya Allah yang mengetahui makna sebenarnya. Dengan semua selang yang menempel di tubuhnya, Nisa tak ubah bagaikan  mayat yang bernyawa. Karena jika semua selang-selang itu di cabut, maka bisa diperkirakan dalam hitungan detik Nisa akan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya, mencoba menyapanya meskipun itu tak berarti banyak namun aku tetap ingin mencobanya.

"Assalamu'alaikum Nisa. Masih ingat dengan abang Nis ?" Tidak ada respon dari Nisa, hanya suara mesin-mesin kedokteran itu yang menjawab salamku.
"Ini abang Nis, supir angkot yang dulu sering antar jemput Nisa sekolah. Cepat sembuh ya Nis" Nisa tetap tidak merespon ucapanku. Dokter yang mendampingi mengajak kami keluar, dari dia aku baru tahu bahwa sejak 3 bulan yang lalu Nisa dirawat di sini dan baru aku satu-satunya kerabat yang menjenguknya. Selama ini hanya teman-teman kuliahnya saja yang silih berganti menjenguk Nisa.

Aku kembali checkin di hotel yang kutinggalkan kemarin, untuk sementara aku menunda kepulanganku ke Padang. Agar tidak mengecewakan Mitha, aku segera menelpon dan memberitahunya bahwa aku mengunjungi teman lama yang dirawat di RS. Alhamdulillah Mitha mengerti dan memahami alasanku. Di akhir percakapan Mitha memberitahu bahwa Abah dan Umminya masih di Padang, rencananya balik ke kampung sekitar 1 minggu lagi. Aku mengerti maksud Mitha, secara tidak langsung dia menginsyaratkan bahwa Ummi dan Abahnya masih menunggu kedatanganku.

Aku kembali menjejakkan kaki di RSU Dr.Kariadi, sebisa mungkin aku ingin menggali informasi lebih tentang Nisa. Dan ada satu pertanyaan lagi yang belum aku dapatkan jawabannya, yaitu perihal ibu Nisa dan keluarga jauhnya itu. Karena dari info terakhir yang aku dapat, Nisa membawa ibunya ke Semarang dan menumpang tinggal di rumah kerabat mereka. Hari ini aku tidak sendirian menjenguk Nisa, karena ketika aku sampai aku melihat Budi anak Pak Yanto juga ada disana. Rupanya dia pun tidak sendirian, ada beberapa teman Nisa yang lain. Dari mereka aku mendapat cerita yang lebih banyak tentang Nisa dan keluarganya. Ternyata beberapa bulan setelah pindah ke Semarang, ibu Nisa meninggal dunia karena kecelakaan. Nisa yang merasa kurang nyaman di rumah kerabat ibunya itu, kemudian memilih untuk pindah dan kos di sekitar kampus. Untuk menambah-nambah biaya hidup, sehari-hari Nisa berkerja sebagai kasir di sebuah swalayan. Untungnya Nisa itu pintar dan dia mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya, sehingga meskipun kondisinya sangat sulit dia masih mampu bertahan untuk kuliah. Namun sayang, nasip cinta yang membuatnya mengalami hal tragis seperti ini. Dr. Rumi yang menangani Nisa memanggilku keruangannya. Dari dia aku mendapatkan penjelasan tentang kondisi Nisa yang telah kronis. Ternyata penganiayaan yang dia alami telah merusak jaringan saraf di otaknya sehingga harapan hidup untuk Nisa semakin tipis. Mendengar penjelasan Dr. Rumi membuatku semakin sakit hati kepada Sammy yang kini entah dimana. Bersama Budi dan teman-teman lainnya aku menemui pihak kampus, sebisa mungkin aku mengupayakan keadilan untuk Nisa. Berkat kerjasama dari semua pihak, akhirnya Sammy pun diringkus dari negara persembunyiannya. Meskipun tidak bisa mengembalikan Nisa seperti semula, namun dengan ditangkapnya Sammy, setidaknya satu keadilan telah dikembalikan kepada Nisa.

Aku bermunajat kepada Allah, memohon diberi petunjuk atas keresahan hati ku. Disatu sisi aku ingin memulai masa depan bersama Mitha, namun kondisi Nisa yang memilukan telah menggoyahkan hatiku. Rasanya saat ini Nisa lebih membutuhkan perhatianku dari pada Mitha, seburuk-buruk kejadian, tak pun dengan aku Mitha masih memiliki banyak kesempatan dengan laki-laki lain. Dia dalam kondisi bebas dan prima dalam menentukan pilihan. Sedangkan Nisa tidak. Dia tidak memiliki siapapun di dunia ini, betul-betul sebatang kara. Dengan mengucapkan basmallah, akhirnya aku membulatkan tekad untuk mempersunting Nisa. Ibu yang ku kabari via telepon kaget bukan kepalang. Namun setelah mendengar penjelasan ku dia pun terharu dan menyetujui niat tulusku. Meskipun sangat berat, aku pun memberanikan diri untuk menghubungi Mitha. Hatiku teriris pedih ketika sayup-sayup aku mendengar isak tangis Mitha, disatu sisi dia kecewa dengan keputusanku, namun disisi lain dia juga prihatin dengan keadaan Nisa. Dengan suara bergetar dia merelakan keputusanku untuk menikahi Nisa. Mitha memang wanita yang luar biasa, meskipun hatinya terluka atas keputusanku, namun dia masih menyelipkan doa untuk kesembuhan Nisa. Semoga Allah mempertemukanmu dengan pria yang jauh lebih baik dari aku Mit, bisik hatiku lirih.

Hari ini aku mengambil langkah besar dalam hidupku. Ya.. aku akan melamar Nisa. Meskipun kondisinya masih belum sadar dari komanya, namun aku berharap keputusanku ini bisa berpengaruh positif atas perkembangan kesehatannya. Karena dari yang aku pernah baca, seseorang yang koma masih bisa mendengar semua kejadian yang ada disekelilingnya, namun fisiknya tidak bisa merespon semua itu. Atas dasar semua itulah, kemudian aku mendekatkan mulut ke telinganya, dengan harapan dia bisa mendengar perkataaanku.

"Assalamua'alaikum Nisa, abang datang lagi. Dengan menyebut nama Allah, jika Nisa berkenan, abang ingin menjadikan Nisa wanita yang halal bagi abang. Maukah Nisa menikah dengan abang ?
Seperti yang aku perkirakan memang tidak ada respon dari Nisa, aku berharap seperti adegan di film-film, Nisa akan menggerakkan jarinya sebagai tanda dia mendengar ucapanku. Namun semua itu tidak terjadi, aku menghela nafas panjang, dan segera bangkit dari sisinya. Tapi tiba-tiba aku melihat ada butiran bening meleleh di pipi tirusnya. Dr. Rumi ternyata juga melihat apa yang aku lihat, matanya pun berkaca-kaca karena terharu.

"Anda berhasil Pak Don, anda berhasil. Nisa bisa mendengar anda. Ini adalah perkembangan terbaik dari Nisa selama ini"

Dari hari ke hari perkembangan Nisa semakin membaik. Satu persatu selang-selang mulai dilepas dari tubuhnya. Meskipun belum bisa diajak berkomunikasi, namun isyarat matanya telah menggambarkan bahwa dia dalam proses kearah yang lebih baik. Harapan akan kesembuhan Nisa pun semakin besar. Setelah melihat perkembangan Nisa yang cukup signifikan, akupun cukup berani untuk meninggalkannya beberapa saat, karena aku harus menuntaskan perkerjaan yang sempat aku tinggalkan beberapa hari terakhir ini. Aku berpamitan kepada Nisa, bahwa aku akan ke Padang beberapa hari untuk mengurus kepindahanku ke Cabang Semarang, dan juga aku sekalian mau menjemput ibu agar bisa ku pertemukan dengan Nisa. Kali ini Nisa merespon perkataanku dengan menggerakkan beberapa jari kirinya. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, Nisa semakin membaik.

Mengurus pindah kerja antar cabang itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perkiraanku yang semula hanya memakan waktu 3 hari maksimal, menjadi molor hingga 5 hari. Namun aku tidak ada pilihan lain, karena agar bisa tenang di tempat yang baru nanti, maka serah terima jabatan sekarang harus berjalan dengan lancar. Malamnya aku mendapat telepon dari Dr. Rumi bahwa kondisi Nisa memburuk, dia sempat batuk darah dan kembali koma. Aku panik mendengar kabar dari Dr. Rumi, dan segera mencari penerbangan tercepat agar segera bisa sampai di Semarang. Bersama ibu dan kedua adikku, akhirnya kami berangkat setelah subuh.

Gerimis turun, membasahi jalan yang kami tempuh menuju RSU Dr. Kariadi. Hatiku tidak bisa tenang sejak mendapat berita dari Dr. Rumi tadi malam. Suasana RS terasa lebih sunyi dari biasanya, mungkin karena masih gerimis, maka angin berhembus pun terasa dingin. Aku mempercepat langkah menuju ruang perawatan Nisa, namun kudapati ruangan itu kosong. Segera aku menuju ruangan Dr. Rumi, tapi Dr. Rumi pun tidak ada di ruangannya. Dari asistennya aku mengetahui bahwa Dr. Rumi sedang di ruang operasi, menangani Nisa yang tiba-tiba anfal tadi pagi. Bagaikan orang yang kesurupan aku segera berlari menuju ruang operasi. Aku melihat lampu di atas pintu ruang operasi masih menyala, itu pertanda operasi masih berlangsung. Aku hanya bisa pasrah dan larut dalam doa-doa panjangku, memohon kesembuhan Nisa. Memohon kepada Allah, agar bisa diberi kesempatan untuk menorehkan tinta bahagia di lembaran hatinya yang rapuh.

Lampu itu pun padam. Degh ! Jantungku seakan berhenti berdetak, menunggu pintu itu terbuka, menunggu kabar berita dari dalam. Beberapa saat kemudian Dr. Rumi keluar dari ruangan. Aku segera mengejarnya dan berdiri dihadapannya dengan tatapan penuh tanya. Aku terdiam karena lidahku kelu, dan Dr. Rumi pun terdiam seakan-akan tengah mengumpulkan kata-kata terbaik untuk disampaikan kepadaku.

"Kami telah mengusahakan yang terbaik Pak Don ... maaf .. Allah lebih menyayangi Nisa, DIA telah menjemputnya 5 menit yang lalu .. sekali lagi .. maaf.."

Aku tersungkur dan jatuh berlutut dihadapan Dr. Rumi. Bumi terasa berputar dengan cepat. Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Tidak mungkin, tidak mungkin. Baru 3 hari yang lalu dia merespon dengan baik ketika aku berpamitan dengannya.

"Anda harus tabah Pak Don, yakinlah Allah Maha Tahu yang terbaik bagi Nisa. Wanita sebaik dia akan menjadi bidadari di surgaNYA. Jangan biarkan diri anda terpuruk pada rasa bersalah, karena saya yakin Nisa tidak ingin anda bersedih atas kepergiannya"

"Benar yang dikatakan Dr. Rumi Pak Don" tiba-tiba Budi dan teman-teman lainnya telah berada di sana.

"Kemarin kami sempat mengunjungi Nisa, dia juga bisa merespon kami satu persatu. Dan dia sempat menuliskan beberapa kata di buku yang kami bawa, dan ada satu lembar terpisah yang baru kami tahu tadi pagi, lembaran itu untuk Bapak"

Tanganku bergetar menerima kertas dari Budi, disitu tertulis tiga buah kata dengan huruf-huruf yang samar. Aku tidak kuasa menahan haru membayangkan betapa sulitnya dia merangkai semua kata-kata itu. Pasti dia mengumpulkan semua energinya untuk menggoreskan tiga kata itu.

"Bang Don, terimakasih"

***************











No comments:

Post a Comment


Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.

Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.