Beberapa hari yang lalu aku baru saja selesai menonton
K-Drama School 2017. Salah satu life value yang paling berkesan ketika menonton
drama School 2017 ini aku catat pada episode terakhir. Bukan berarti
episode-episode sebelumnya miskin nilai moral, ya, gais. Bukaaan. Justru banyak
banget nilai-nilai kehidupan yang layak dijadikan renungan sepanjang 16 episode
drama ini.
Review lengkapnya silahkan baca Review K-Drama : School 2017, Tentang Sekolah, Cinta, Harapan, Orangtua, Orang-orang terdekat dan Lingkungan
Review lengkapnya silahkan baca Review K-Drama : School 2017, Tentang Sekolah, Cinta, Harapan, Orangtua, Orang-orang terdekat dan Lingkungan
Bagi aku yang seorang ibu, dan pastinya juga pernah
merasakan posisi sebagai anak remaja, aku sangat tersentuh dengan kata-kata
dari Tae Woon kepada sang ayah. “Tahukah ayah yang paling aku takutkan di dunia
ini ? Aku takut jika dewasa nanti aku akan menjadi orang seperti ayah.”
Deg !
Kata-kata yang diucapkan dengan suara lirih bergetar dan
juga ekspresi penuh kekecewaan ini terlontar dari mulut seorang remaja usia 18
tahun.
Aku pun langsung merenung panjang.
Apa yang dilakukan ayahnya sampai sang anak takut dirinya
menyerupai sang ayah ?
Dari yang aku tahu, ayah adalah role model pertama yang
dilihat anak dalam masa tumbuh kembangnya. Makanya tidak heran anak pasti suka
main obeng kalo ayahnya berkerja sebagai montir. Ya, kan ?
Kehadiran ayah selalu
diwakili oleh materi.
Tumbuh sebagai anak tunggal dari pengusaha kaya, ternyata
tidak lantas membuat Tae Woon menjadi remaja yang sombong dan bengal. Tetapi
semua kesederhanaan itu dia dapatkan bukan dari figur ayahnya, tetapi lewat
sahabat-sahabatnya yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Dari
sini kita bisa lihat, bahwa lingkungan
adalah salah satu faktor penentu karakter anak.
Tetapi sikap Tae Woon yang humble tadi berubah drastis
menjadi dingin, cuek dan arogan pasca tragedi meninggalnya salah satu sahabat
karibnya.
Keputusan sang ayah yang salah telah menggiring Tae Woon
menjadi remaja yang pesimis terhadap dunia. Mungkin dia mikir gini, “Aah ..
percuma berbuat baik, percuma memberontak, toh .. pada akhirnya uang dan
kekuasaan juga yang berbicara.”
Demi reputasi keluarga, sang ayah tega melimpahkan semua
kesalahan anaknya terhadap orang lain. Dalam hal ini ayah hadir hanya berupa
materi, dia tidak hadir sebagai sosok ayah yang merangkul dan menghibur anaknya
yang sedang sedih karena baru saja kehilangan orang terdekat.
Di sinilah mulai tumbuh bibit-bibit ketidakpercayaan Tae
Woon pada ayahnya.
Hal tersebut di atas memang hanyalah bagian dari cerita drama. Tapi juga kerap terjadi di dunia nyata, kan? Banyak sekali tayangan di televisi yang memberitakan tentang anak-anak yang berhadapan dengan kasus tertentu tapi karena pengaruh yang dimiliki orang tuanya, kasus itu pun menguap tak berbekas.
Kasus selesai ?
Memang.
Tapi perkembangan mental anak ?
Belum tentu.
Ketika berhadapan dengan situasi dimana anak adalah salah
satu korban atau pelaku dalam sebuah kasus, maka hendaknya ayah memposisikan
diri dengan cara sebagai berikut :
-
Pertama jadilah figur orangtua yang memberikan
kepastian bahwa anak tidak sendirian. Seberat apapun persoalan yang sedang ia
hadapi orangtuanya akan selalu mendampingi.
-
Jadilah figur teman yang menampung semua
keresahannya. Seorang remaja telah memiliki lapisan perasaan yang kompleks.
Beda dengan anak-anak, yang mereka tahu masih rasa sakit. Tetapi remaja tidak.
Mereka telah memiliki rasa malu, mereka memiliki rasa kecewa, rasa marah dan
juga sakit hati. Jika semua keresahan itu tidak tersalurkan maka anak akan
rentan stress hingga depresi.
-
Jadilah figur pemimpin yang memiliki sikap
tegas. Ini sangat diperlukan agar anak tidak terjerumus dalam tindakan yang
merugikan diri sendiri atau orang lain. Katakan kepada anak yang salah adalah
salah, dan jangan pernah memberikan pembenaran atas kesalahan yang dilakukan
oleh anak.
Ayah Selalu Mengambil
Alih Masalah Yang Dialami Anak
Memang benar, ayah adalah orang pertama yang akan memasang
badan ketika anak berhadapan dengan masalah. Tetapi bukan dengan berkata,
“Sudah, kamu tenang saja. Biar ayah yang bereskan.” Jika ayah melakukan ini,
maka jangan salahkan jika nantinya anak akan tumbuh menjadi manusia yang
pengecut, selalu mencari kambing hitam dan selalu merasa benar sendiri.
Seorang ayah yang bijak semestinya dia menggenggam tangan
anaknya lalu mengajak duduk bersama. Kemudian ajak si anak tadi bercerita dari
hati ke hati, sambil menyelidiki pokok permasalahannya. Jika kemudian diketahui
bahwa anak itu yang bersalah, maka tuntun si anak tadi untuk berani mengakui
kesalahannya. Kesalahan bukanlah aib yang harus ditutupi, tetapi kesalahan
adalah pelajaran hidup agar kedepannya tidak lagi terulang.
Ayah adalah orangtua,
bukan Tuhan yang harus selalu dipatuhi
Seringkali orangtua merasa diri mereka super power, sehingga
mengharuskan si anak mengikuti semua kemauan mereka. Mereka lupa, anak adalah
individu berbeda yang memiliki impian tersendiri.
Akibat jarangnya bersentuhan dengan anak dalam proses tumbuh
kembangnya, kebanyakan ayah memposisikan diri mereka melebihi Tuhan. Hanya
menginstruksikan kehendak tanpa melihat situasi dan kondisi yang dihadapi anak
sendiri.
Kamu harus begini !
Kamu tidak boleh masuk ke universitas itu !
Jangan cemarkan nama baik keluarga !
Semuaaa kalimat perintah tanpa ada satu pun kalimat yang
sifatnya persuasif.
Alangkah indahnya jika ayah bertanya, “Nak, kamu minatnya
ngambil jurusan apa ?”
Atau tiba-tiba sang ayah menemani anaknya belajar kemudian
menyeletuk, “Ayah perhatikan kamu jago ya matematika, ntar kuliah kedokteran
aja ya.”
Kalau pun si anak tidak suka dengan jurusan yang ditawarkan
ayahnya, pasti dia nolaknya juga dengan bahasa yang lembut. “Aku ga mau jadi dokter, yah. Mau jadi
arsitek aja.”
Nah, monggoooo ... dilanjutkan diskusinya. Pasti seru tanpa
perlu keluar urat leher.
Gimana dengan kamu, gais ?
Pernah mengalami perasaan yang sama ga nih ?
=======
Gimana dengan kamu, gais ?
Pernah mengalami perasaan yang sama ga nih ?
=======
- Tulisan ini diikut sertakan dalam Collaborative Blogging KEB (Kumpulan Emak-emak Blogger), sebagai tanggapan atas trigger post yang ditulis oleh Farida Nisa dari Grup Raisa dengan tema peran ayah
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.
Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.