Part 2: Dua Sisi Kehidupan.
Dua puluh tahun kemudian.
Jalanan tampak sepi, hanya
satu-dua kendaraan yang lewat di depan rumah megah itu. Bunga-bunga di halaman
rumah tumbuh dengan suburnya, angin pun bertiup sangat lembut, selaras dengan
ketenangan dan kedamaian yang jelas terasa. Membuat semua mata yang memandang
menjadi iri untuk turut menjadi bagian dari kedamaian itu.
Namun tidak demikian halnya
yang terjadi di dalam rumah. Ketegangan jelas terlihat membayangi wajah dua
pria. Yang satu duduk di kursi besar, dengan wajah kaku, dan satu tangan yang jarinya
selalu terkepal. Satunya lagi berdiri tidak jauh di samping kanannya. Mimik wajahnya
cemas dan gelisah. Tampak jelas ia sedang berpikir keras tentang sesuatu.
Beberapa menit telah berlalu, namun masing-masing mereka masih saja
larut dengan deru nafas yang terdengar begitu berat untuk dihembuskan. Sepertinya
masalah besar memang sedang terjadi di rumah itu.
“Kim-seonsaengnim, apakah sudah
ada kabar dari Yoo Ill?”
Kim Hyung Min mendekat. Seperti
yang sering nampak di dalam drama, dia menundukkan kepala sebelum bicara. Itu
adalah salah satu bentuk penghormatan mereka kepada lawan bicara yang
dihormati.
Di Korea, semakin dalam mereka
membungkukkan badan, maka semakin besar pula rasa hormat yang mereka berikan.
“Maaf, Tuan. Sampai detik ini
masih belum ada. Tapi saya sudah kerahkan semua anggota untuk mencari
keberadaan Tuan Muda, semoga beberapa saat lagi kita mendapatkan kabar baik.”
“Ehhhmm ... dia pasti sudah tak
ada di negara ini lagi. Cari tahu di kantor imigrasi!”
“Sudah, Tuan. Tapi kami tidak
menemukan apa-apa. Jika memang Tuan Muda ke luar negeri, saya yakin dia
menggunakan paspor palsu agar tidak mudah terlacak.”
“Jangan menyerah, cari terus
sampai dapat. Jika perlu hubungi partner bisnis kita di beberapa negara. Bagikan
foto Yoo Ill dan minta kerjasama mereka. Bisa kemana sih dia dengan uang yang
gak seberapa itu?”
“Baik, Tuan. Segera saya
laksanakan.” Usai berkata itu Kim Hyung Min meninggalkan ruangan itu.
“Dasar anak tidak tahu diri,”
umpat Han Tae Ho dalam hati.
“Apa dia tidak sadar betapa
beruntungnya dia memiliki orangtua yang berkecukupan. Materi berlimpah, semua
kebutuhan tersedia. Tapi tetap saja dia tidak pernah mau mendengarkan orang
lain. Egois, dan hanya mementingkan diri sendiri.”
“Apa dia tidak sadar, di luar
sana banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kesempatan
seperti yang dia miliki? Tapi dia justru menyia-nyiakan kesempatan yang telah
ada di depan mata. Lihat saja, nanti kalau dia kembali, aku akan berikan
hukuman yang seberat-beratnya. Akan kuikat ke dua tangan dan kakinya hingga dia
tidak akan pernah lagi berani, jangankan untuk kabur, memikirkannya pun tidak.”
Tae Ho masih larut dalam kemarahan di hatinya.
***
Hari ini adalah hari yang
mendebarkan bagi Windi. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah naungan pengurus
panti, kini tiba saatnya dia harus meninggalkan mereka. Karena sesuai peraturan
yang ada, anak-anak panti yang telah dianggap dewasa harus meninggalkan panti,
dengan kondisi apa pun, ada atau pun tidak donatur yang akan membiayai mereka
karena di usia ini mereka dianggap sudah mampu menghidupi diri sendiri.
Tahun ini berbeda dengan tahun
kemarin, karena panti hanya melepas satu orang saja, yaitu Windi.
Dewi fortuna berpihak kepada
Windi, karena berkat prestasinya di sekolah, ada donatur yang menawarkan diri
untuk menjadi orang tua angkatnya. Meskipun tidak diadopsi, tapi Windi
bersyukur karena dia memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Namun sayang pihak panti tidak bersedia membocorkan identitas
donaturnya itu. Mereka bilang itu permintaan donatur itu. Meski kecewa, tapi
Windi tetap bersyukur atas kemurahan hati orang itu. Setiap malam, Windi selalu
menyematkan doa agar suatu saat Tuhan berkenan mempertemukannya dengan manusia
berhati malaikat itu.
“Anggap saja donaturmu itu
‘angin’ yang tak terlihat, namun keberadaannya bisa kamu rasakan,” ujar Bu
Fatma, ketika Windi menanyakan identitas donaturnya itu.
Wanita paruh baya berwajah hangat itu selalu menjawab dengan nada
lembut setiap kali Windi bertanya. Inilah yang membuat Windi merasa berat untuk
meninggalkan panti yang sudah menjadi rumahnya selama ini.
Suatu waktu saat Windi masih anak-anak, beberapa kali ada keluarga
yang ingin mengadopsinya, namun Windi tidak mau dan selalu berteriak histeris ketika
akan dibawa pergi. Jika dipaksa dia pasti pingsan. Akhirnya Bu Fatma memutuskan
untuk tidak lagi menyerahkan Windi.
Angin? Sedari dulu Windi memang
menyukai angin. Angin itu melambangkan kebebasan. Dia bisa berlari kemana saja
tanpa terlihat. Kehadirannya selalu ditunggu ketika mentari bersinar terik. Dia
bisa menyatukan panas dan dingin, namun juga bisa membentuk topan yang
memporak-porandakan seisi kota. Itulah kekuatan angin.
Tapi angin tidak pernah bisa
merasakan bagaimana rasanya bertumbuh, disayangi dan dijadikan bagian dari satu
keluarga besar seperti layaknya daun di pepohonan. Karena dia adalah angin yang
tidak memiliki siapa-siapa. Seperti Windi, yang juga tidak memiliki
siapa-siapa.
Angin adalah kesepian yang
rapuh. Namun di balik kerapuhannya dia menyimpan kekuatan besar sehingga tetap
bisa memberikan kebahagian kepada semua yang disentuhnya.
“Ingat pesan bunda, ya, Nak.
Cobaan hidup di luar sana sungguhlah besar, kamu harus sabar dan jangan pernah
menyerah. Tebarlah kebaikan di mana saja dan ke pada siapa saja. Dan tetaplah
berpegang teguh kepada garis utama kehidupan yaitu kejujuran. Kejujuran adalah
mata uang yang berlaku di mana saja. Jadi capailah impian kamu dengan
kejujuran, jangan pernah kotori masa depan kamu dengan kenikmatan-kenikmatan
sesaat. Karena semua itu hanya akan terasa manis di awal, namun menyengsarakan
di kemudian hari. Camkanlah kata-kata bunda ini.”
“Baik, Bun. Windi akan selalu
ingat pesan Bunda.”
“Satu lagi, meskipun kamu tak
lagi tinggal di panti ini, selamanya ini adalah rumah kamu. Kapan saja, dalam
keadaan apa saja, jika dunia terasa tak lagi mendukungmu, ketika dunia terasa
berpaling darimu, datanglah, temui bunda, sampai kapan pun kamu adalah anak
bunda, Windi.”
“Terimakasih banyak, Bunda. Aku
tidak akan pernah lupa dengan panti ini. Aku akan berkerja keras agar bisa
membantu adik-adik yang lain. Windi berjanji, Bunda.”
Suasana haru memenuhi ruangan.
Terdengar isak tangis tertahan di semua tempat. Selalu setiap tahun ini pasti
terjadi. Kebersamaan yang mereka lalui selama bertumbuh di panti ini telah
membentuk kekerabatan yang mungkin sama eratnya dengan saudara kandung. Mereka saling
menyayangi, saling melindungi, dan saling mendoakan kebahagiaan satu sama
lainnya. Bahkan ketika salah satu mereka pergi dengan keluarga baru, mereka
tetap terus berdoa, dan berharap suatu saat akan dipertemukan dalam kondisi
yang lebih baik.
Fatma memeluk erat Windi yang
sesegukan di bahunya. Sungguh Windi berharap waktu akan berhenti berputar
sehingga ia bisa meresapi hangatnya dekapan Bu Fatma lebih lama lagi.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.
Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.