Sebagai ibu pekerja, aku pernah
disebut sebagai ibu yang tidak punya perasaan. Kok tega, sih, meninggalkan anak
usia batita dengan neneknya yang udah sepuh ? Kan, kasihan neneknya, jadi ga
bisa menikmati hari tua dengan santai.
Padahal ini memang maunya mama
mertua aku, lho. Dan itu juga ga aku lepas 100%, untuk makan anak, tetap aku
yang siapin pagi-pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Siang-siang tetap aku pantau via telepon, nanyain mama kewalahan atau
tidak, nanyain kondisi anak. Semaksimal mungkin keep in touch-lah dengan
perkembangan anak dan neneknya.
Selang beberapa waktu kemudian, ketika
Aira aku masukin PAUD, nyinyiran mereka pun berganti.
Anak ngomong aja belum
bisa, kok udah dimasukin ke PAUD, sih ?
Sebesar apa, sih, gaji yang
didapat sampai-sampai anak di nomor duakan gitu ?
Anak ditinggal lagi tidur, pulang
ke rumah pun anak udah ngantuk, ntar anak ga kenal sama ibunya lagi baru tahu
rasa, deh.
Ya, ampuuuun.
Sepertinya mereka bahagia banget,
ya, mengomentari hidup aku.
Mendengar nyinyiran yang
bertubi-tubi gitu gak lantas membuat aku patah arang. Aku juga memilih untuk
balas mendebat kata-kata mereka, karena memang rasanya percuma. Toh, yang tahu
pasti alasan sebenarnya adalah aku dan lingkaran keluarga terdekat aku.
Orang-orang di luar sana, kan,
tidak tahu betapa rumit permasalahan keluarga yang tengah aku hadapi. Dan pastinya
tidak ada manfaatnya juga, kan, aku menceritakan aib keluarga sendiri kepada
orang lain.
Waktu berlalu, suatu Minggu, aku
sedang bermain dengan Aira dan ayahnya di halaman rumah. Beberapa tetangga lalu
lalang di depan rumah dengan tatapan aneh. Kemudian salah satu dari mereka pun
mampir. Mungkin saking penasarannya, mereka ga tahan untuk ga bertanya.
“Wah ... senangnya Aira main sama
ayah dan bunda, ya. Padahal sering ditinggal, ya, mbak, tapi kok tetap dekat
sama bundanya ?”
Aku dan suami pun saling pandang.
Kami berdua memang sibuk berkerja
di luar rumah. Dari 24 jam sehari, 10-12 jam tersita oleh perkerjaan. Pulang dari
berkerja, sesampainya di rumah rasa lelah pasti udah ga bisa disembunyikan. Tapi
di sanalah letak perjuangan kami. Terutama aku sebagai ibunya yang meskipun
turut berkerja mencari nafkah, tapi bukan berarti bisa lepas dari kewajiban ibu
rumah tangga. Tapi sejalan dengan komunikasi yang baik dengan suami, sejauh ini
semua hambatan itu bisa aku atasi.
Aku berkomitmen, betapa pun
lelahnya raga sehabis berkerja, sesampai di rumah aku harus menanggalkan semua
lelah itu, kemudian menggantinya dengan spirit baru, demi menciptakan waktu
berkualitas bersama Aira. Aku melupakan semua hiruk pikuk perkerjaan rumah
tangga yang pastinya sudah berteriak minta aku jamah. Tapi aku say, NO. It’s
time for Aira. 100% just for Aira. Singkirkan semua gadget jauh-jauh dan fokus
sepenuhnya kepada Aira.
Memangnya bisa berapa lama, sih ?
Anak kecil, kan, cepat tidurnya. Apa iya bisa lama-lama ?
Aku akui, quality time-nya aku
dan Aira di hari kerja saat itu rata-rata hanya 3-4 jam. Dari pukul 5 sore
sampai 9 malam. Tapi kembali lagi, ini bukan tentang kuantitas, tapi tentang
kualitas. Karena fakta yang aku lihat di lingkungan sekitar, banyak ibu-ibu
yang full time di rumah, tapi tetap tidak memiliki kedekatan emosi dengan anak.
Bahkan banyak anak-anak yang berkembang tidak sesuai dengan usianya. Mereka menjadi
dewasa sebelum waktunya.
Itu karena apa ?
Karena ibu yang seharusnya
menjadi guru pertama dalam kehidupan mereka tidak hadir dalam pendidikan emosi
mereka. Karena kesibukan perkerjaan rumah tangga, kehadiran ibu digantikan oleh
televisi, handphone, playstation, dan lain-lain. Bagi mereka asalkan anaknya
diam dan ga rewel itu udah cukup.
Padahal tayangan-tayangan yang
disaksikan anak-anak saat ini tidak semuanya aman. Baik secara moril dan etika apa
lagi secara agama.
Makanya tidak ada jaminan, ibu
full time di rumah bisa lebih baik dalam mengasuh anaknya di bandingkan dengan
ibu-ibu berkerja. Ibu berkerja itu yang pastinya adalah kurang tidur dan kurang
istirahat, tapi untuk perhatian dan cinta sama anak mereka ga ada beda dengan
ibu yang full di rumah. So, please, stop nyinyirin ibu berkerja, yaaa.
7 Bahasa Cinta,
Ungkapan Cinta Yang Selalu Ada di Hati Bunda
Sebagai ibu pekerja, aku sadar
sepenuhnya waktu yang kumiliki sangat kurang bersama anak, makanya agar anak
tetap merasa dicintai dan diperhatikan, aku berusaha menerapkan 7 bahasa cinta
dalam menciptakan bonding antara aku dan anak.
1. Waktu yang berkualitas
Seperti yang aku kemukakan di
atas tadi, waktu yang berkualitas hanya akan tercipta jika kuantitas yang
dimiliki diiringi dengan kedekatan emosi antara orang tua dan anak. Waktu Aira
masih kecil, aku biasanya mulai dengan memandikannya, setelah itu rebutan
memilih baju apa yang akan dia kenakan. Kemudian kami bermain hingga tiba
waktunya makan malam. Aku pun menyuapinya makan dengan sabar, kemudian kembali
bermain, hingga waktunya tidur.
Sekarang Aira sudah tidak bayi
lagi. Dia sudah berusia 8 tahun, dia sudah bisa mandi sendiri, dan juga makan
sendiri. Tapi bukan berarti quality time untuknya berkurang. Justru harus
semakin di tingkatkan. Kami biasanya mengisinya dengan nonton bareng setelah
menemaninya membuat PR. Kadang-kadang menggambar bersama, membuat kolaborasi,
Aira yang menggambar trus aku yang mewarnai. Kemudian hasilnya kami pajang di
dinding kamar. Dia senang, aku pun bangga. We knew, we love each others.
2. Kata-kata positif berupa pujian atau dukungan
Sebagian orang berpendapat bahwa
pujian tidak baik bagi perkembangan jiwa anak, karena bisa mengakibatkan anak
tumbuh menjadi manusia yang besar kepala. Ini adalah pendapat yang keliru. Sebuah
pujian yang diberikan di saat yang tepat dan cara yang tepat justru membuat anak tumbuh
menjadi manusia yang percaya diri karena ia merasa dihargai.
Pertanyaannya, kapan saat yang
tepat memberi pujian, dan bagaimanakah cara yang tepat dalam memberi pujian
kepada anak ?
Pujilah anak saat ia berhasil
melakukan sesuatu secara mandiri. Berilah pujian dengan tulus dan spesifik.
Hindari kata-kata singkat seperti “bagus”, “baik”, “keren”. Lengkapi kata
singkat tadi dengan kalimat pendukung yang spesifik.
Misalnya seperti ketika Aira
berhasil merapikankan kamarnya sendiri. Dengan ekspresi takjub aku pun berkata, “Subhanallaah,
pintarnya anak bunda. Bisa merapikan kamar sendiri, bantal sudah tersusun,
selimut sudah dilipat. Terimakasih, ya, sayang.”
3. Sentuhan fisik
Anak sangat membutuhkan sentuhan
fisik berupa pelukan sayang, belaian, ciuman, atau elusan. Selalu menggandeng
tangannya saat berjalan. Bahkan tepukan kecil di pundaknya saat ia sedang
menghadapi masalah bisa menjadi kekuatan, lho.
Sekali pun anak sudah tidur
lelap, aku selalu membiasakan diri untuk memeluk dan mencium keningnya setiap
malam. Begitu juga pagi hari, ketika akan berangkat kerja, aku dan suami selalu
memeluk Aira dengan erat sambil membisikkan salam. Dengan cara ini rasa cinta
dan perhatian kami langsung sampai kepada Aira.
4. Tatapan mata atau kontak mata
Berikan tatapan mata yang hangat
dan lembut saat berkomunikasi dengan anak. Pastikan posisi mata ibu dan anak
sejajar sehingga menciptakan kedekatan yang lebih intens. Sebaiknya jangan
melihat yang lain di saat anak berbicara dengan kita.
Untuk hal ini aku pernah di
protes oleh Aira. Hari itu hari libur, jadi kami sedang santai di kamar sambil
bermain lego. Aira asyik membentuk rumah, aku pun fokus membangun benda
lainnya. Trus dia bertanya sesuatu, dan aku menanggapinya tanpa mengalihkan
pandangan dari lego yang aku pegang.
“Bundaaaa, Aira tanya, lihat
Airalah, Ndaa !”
Yup .. aku salah banget. Padahal
udah bener, kan, yah. Quality timenya udah bagus, tapi jadi ga sempurna lagi,
karena anak merasa terabaikan dengan fokus ibunya yang terbagi.
5. Pelayanan
Yang dimaksud pelayanan ini tentu
saja bukan menjadi pembantu anak, trus anak tinggal duduk manis di balik meja. Tetapi
berusaha semaksimal mungkin memberi bantuan di saat anak membutuhkan bantuan. Atau
dengan memberikan perhatian ekstra di saat anak sedang melakukan hal yang baik.
Memberikannya obat yang tepat di saat demam pun adalah salah satu pelayanan
terbaik yang ibu bisa berikan kepada anak.
Seperti yang Aira alami beberapa
hari yang lalu. Sepulang sekolah, badannya terasa panas. Aku lihat matanya
merah, dan bibirnya kering. Ketika di cek dengan thermometer, suhunya mencapai
380C. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mengambil Tempra Syrup dari
kotak obat. Sejak dulu aku memang hanya percaya pada Tempra untuk menurunkan panas Aira saat
demam. Mulai dari Tempra Drop ketika Aira masih bayi, hingga sekarang Tempra Forte untuk Aira yang berusia di atas 6 tahun. Selain karena aman
di lambung, Tempra Syrup ini juga tidak perlu di kocok karena larut 100%. Ditambah
lagi dengan dosis yang tepat sehingga tidak menimbulkan over dosis atau pun
kurang dosis.
Memberikan Aira Tempra Syrup
disaat demam adalah salah satu contoh pelayanan terbaik yang bisa aku berikan
sebagai ibu.
6. Pemberian hadiah
Hadiah tidak selalu berarti
barang-barang mewah dan mahal. Bisa dengan benda-benda kecil, sederhana tapi
diberikan dengan penuh ketulusan. Seperti membelikan makanan kesukaan anak saat
kembali dari kantor. Hal sederhana, tapi berdampak besar dalam perkembangan
emosi anak. Jadi sekalipun ibunya sibuk di kantor, dia tetap yakin ibunya
sayang dan cinta kepadanya karena selalu ada di hati dan ingatan ibunya.
7. Perhatian yang terpusat
Ditengah-tengah kesibukan yang
luar biasa, terlebih lagi jika memiliki anak lebih dari satu, usahakan agar ibu
memberikan waktu dan perhatian hanya kepada satu anak saja secara terpusat dan
ekslusif tanpa kehadiran anak-anak yang lain. Misalnya di suatu hari, ibu
mengajak anak pertama jalan-jalan, disaat bersama dengannya bicaralah dari hati
ke hati, dan sungguh-sungguh mendengarkannya. Di lain hari, giliran anak kedua
diperlakukan sama. Kemudian, barulah lakukan bersama-sama seluruh anggota
keluarga.
Perhatian yang terpusat ini
sangat baik bagi perkembangan jiwa anak yang sehari-harinya pasti berebut
perhatian orang tuanya dengan saudara-saudaranya yang lain.
Jangankan dengan saudara kandung.
Aira saja, ketika berkumpul dengan para sepupunya, aku tetap berusaha meluangkan
waktu untuk melipir sejenak dari kerumunan itu, mengajaknya ngombrol kemudian
mendengarkan dia bercerita. Mungkin hanya sekitar 15-20 menit, tapi itu telah
mengembalikan kepercayaan dirinya yang bisa saja merasa terabaikan oleh
kesibukan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Memang tidak ada orang tua yang
sempurna di dunia ini, baik itu ayah atau pun ibu. Dan pastinya tidak ada
rumusan baku yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang di dunia ini, termasuk
anak kita sendiri.
Tapi aku meyakini sepenuhnya,
dalam dunia anak, tidak ada yang lebih sempurna dari pada cinta seorang ibu
yang tulus. Karena cinta seorang ibu itu mampu memberikan rasa aman, memberi
rasa dihargai, membuat diri anak merasa berarti.
Seorang ibu sekalipun dengan
semua keterbatasannya, tidak akan pernah berhenti memberikan perhatian dan
kasih sayang kepada anaknya, karena memang akan #SelaluAdaCintadiHatiBunda.
=====
Artikel
ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh Blogger PerempuanNetwork
dan
Tempra.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.
Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.