14
Februari 2014
Satu persatu mereka
yang tadi duduk memenuhi rumah itu berlalu pergi. Menyisakan Bara yang masih
saja termangu disudut ruangan, diantara tumpukan buku Yaasin. Mata Bara masih
tampak merah dan sembab. Sepertinya dia telah menguras habis seluruh persediaan
air matanya. Dipangkuannya, Asbi bergolek manja, dengan botol susu ditangan
kanannya. Sementara jari-jari kirinya sibuk memainkan rambut yang tumbuh didagu
ayahnya. Tatapan matanya ceria. Dia memang masih terlalu polos untuk menyadari
bahwa Rania, ibunya telah pergi untuk selamanya.
Ya, dihari yang
orang-orang peringati sebagai hari kasih
sayang, penuh bunga, coklat dan cinta Bara dihadapkan pada kenyataan pahit.
Allah memanggil Rania menghadapNYA.
Bara menatap mata polos
Asbi, yang masih terlalu kecil untuk mengetahui kepergian ibunya adalah buah
pengabaian dari ayahnya sendiri. Menyadari hal itu, setitik bening kembali
menggelinding di pipi Bara.
“Ayah.. appa ?” tanya
Asbi dengan logat cadelnya. Rupanya air mata itu mengenai jari-jarinya. Bara
menggeleng, lalu menyeka bulir itu dengan lengan bajunya. Sebisa mungkin dia
membentuk lengkung di bibirnya.
“Gak pa-pa, mata ayah
kemasukan debu,” jawab Bara. Berbohong ? Pasti. Karena tidak ada kata-kata lain
yang bisa ia ucapkan agar Asbi mengerti.
“Mbus Yah.. mbus..”
Asbi bangkit dari pangkuan Bara, lalu meniup mata ayahnya dengan kuat.
Sisa-sisa susu yang berada dimulutnya muncrat ke wajah Bara. Tak pelak Bara pun
tertawa. Digendongnya Asbi, lalu dipeluknya erat. Bayang-bayang Rania kembali
melintas dimatanya.
Januari
2012
Bara menghentikan motornya
tepat didepan sebuah rumah sederhana berhalaman kecil. Dindingnya papan dicat warna
kuning. Nampak mencolok diantara aneka tanaman hijau yang tumbuh
disekelilingnya.
“Ini rumahku.. gimana ?
Mau masuk ? Atau balik pulang ?” tanya Bara sebelum turun dari motor.
“Ya masuklah, Bang. Kok
balik pulang sih ?”
“Kamu yakin ? Gak
kecewa melihat kondisi rumah aku ?” Rania menggeleng, dengan senyum manis
diwajahnya. Bara semakin jatuh cinta kepada sosok gadis itu.
Rania adalah putri
ketiga dari pemilik toko besar di kota ini. Beberapa kali mengantarkannya
pulang Bara sadar betul, Rania tumbuh besar di keluarga berada. Tapi semua itu
tidak lantas membuatnya jumawa dan besar kepala. Rania tetap rendah hati dalam
berteman. Bahkan tanpa ragu, dia menerima cinta yang Bara tawarkan. Sungguh
suatu mukjizat bagi Bara.
“Lho kok malah bengong
? Ayo kita masuk,” tegur Rania membuyarkan lamunan Bara. Bara terkesiap kaget,
dengan cengengesan dia membimbing tangan Rania memasuki rumah.
Seorang wanita usia
lima puluh tahunan menyambut mereka di ruang tamu. Dia Bu Ainun, ibu Bara. Air
mukanya tampak senang ketika Bara memperkenalkan Rania sebagai calon menantu.
Sementara Rania hanya menunduk tersipu dengan wajah merah jambu. Setelah berbincang
sejenak, Bu Ainun meninggalkan Bara dan Rania di ruang tamu, dan dia kembali
sibuk dengan perkerjaannya semula.
“Ran, terimakasih ya..”
ujar Bara sambil menggenggam tangan Rania.
“Terimakasih ?
Terimakasih untuk apa, Bang ?”
“Terimakasih karena
kamu sudah terima cinta abang, padahal kamu lihat sendiri kondisi kita berbeda,
kamu o..” kata-kata Bara terhenti karena hari telunjuk Rania melintang
dibibirnya.
“Sstt.. jangan pernah
ungkit itu lagi, Bang. Kan dari dulu aku sudah bilang, aku ga pernah mengkotak-kotakkan
manusia. Dimata Tuhan aja kita sama kok. Jadi please jangan bicara seperti itu lagi,” ujar Rania. Bara semakin
terharu mendengar kata-katanya. Dia mengecup jemari Rania dengan lembut. Hati
Rania berdesir. Tanpa ragu dia menyandarkan kepalanya ke bahu Bara. Mereka
hanyut dalam perasaan romantis yang bergejolak dalam dada.
“Ran.. kamu pernah
hitung gak ? Hubungan kita udah jalan berapa lama, ya ?” tanya Bara kemudian.
“Hmm.. kalo ga salah,
bulan depan dua tahun, benar kan ?” jawab Rania.
“Yup.. ga terasa ya, udah dua tahun aja.
Padahal rasanya baru kemarin aku nembak kamu.”
“Iya ya, Bang. Ga
terasa. Itu karena kita menjalaninya dengan sepenuh hati, makanya gak nyadar
waktu berlalu sedemikian cepat.” Bara mengangguk, dia kembali merengkuh bahu
Rania. Mereka sama-sama hening, hingga suara jantung mereka terdengar jelas, berdetak
seirama.
“Ran.. dalam dua tahun hubungan kita, kamu
bahagia gak ?”
“Banget !” jawab Rania
yakin.
“Ehm.. mm.. kamu mau ga
menikah dengan abang ?” dengan terbata kalimat itu akhirnya meluncur dari mulut
Bara. Rania kaget, tidak percaya Bara akan melamarnya secepat itu. Meskipun
kalimat itu sempat ia dengar didalam mimpinya akhir-akhir ini, namun tetap saja
jantungnya berdetak lebih cepat ketika mendengar kalimat itu langsung dari
mulut Bara. Tanpa pikir panjang lagi, Rania mengangguk dan menghambur kepelukan
Bara.
“Tapi kamu lihat
sendiri kondisi abang, Ran. Abang bukan orang kaya. Abang ga bisa menjanjikan
kamu apa-apa selain cinta, perhatian dan kerja keras untuk menafkahi kamu.”
“Itu sudah cukup, Bang.
Aku ga pernah malu dengan perkerjaan Abang. Lagian aku menikah bukan mencari
kaya. Aku hanya mencari cinta, dan cinta itu adalah kamu,” ujar Rania mantap.
Bara menatap Rania lama dan menemukan keteguhan hati disana.
Maret
2012
Pernikahan Bara dan
Rania berlangsung khidmat di kediaman orang tua Rania. Meskipun sempat
mengalami pertentangan dengan Papa, namun keteguhan hati Rania mampu meluluhkan
hati Papanya. Dalam satu helaan nafas, ijab kabul itu terucap. Bara sah
menjadikan Rania sebagai istrinya.
Selepas menikah, Bara
memutuskan untuk mengontrak rumah. Meskipun orang tua Rania menawarkan untuk
memakai salah satu rumah mereka namun Bara menolak. Sebersit kekecewaan mampir
dihati Rania ketika itu. Tapi dia memutuskan untuk menurut kepada suaminya, dan
mendukung keputusan Bara untuk pindah ke rumah kontrakan.
Kontrakan yang dipilih
Bara sungguh jauh dari harapan Rania. Rumah itu terjepit diantara beberapa
rumah petak. Satu ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur yang berjejer lurus.
Sebuah gang kecil menghubungkannya. Kamar mandi ada di belakang dapur dengan satu
sumur cincin dengan katrol menggantung diatasnya.
Rania kecewa, tidak
pernah membayangkan akan menghuni rumah dengan sarana seadanya seperti itu. Namun
sebisa mungkin Rania menahan air matanya tidak jatuh. Tidak, aku tidak boleh
bersedih, dengan penghasilan Bara yang segitu rumah ini sudah cukup baik bagi
mereka. Rania menyemangati dirinya dalam hati. Lagi pula nanti mereka bisa
menabung untuk membeli rumah. Rania yakin, cinta dan kerja keras pasti indah
pada waktunya.
Juni
2013
Keromantisan Bara dan Rania
di awal-awal pernikahan mereka dulu mulai diuji ketika memasuki tahun kedua
pernikahan mereka. Disaat buah cinta mereka lahir, kesabaran Rania kembali
diuji. Bara kehilangan perkerjaannya akibat perusahaan tempatnya berkerja
sedang melakukan pengurangan tenaga kerja. Bayang-bayang suram mulai merambat
dalam kehidupan mereka.
“Bang, kalo Abang
sempat tolong buatkan kran di kamar
mandi, ya, akhir-akhir ini punggungku nyeri waktu ngangkat air,” pinta Rania
ketika Bara tengah santai di depan tivi. Sejak tinggal dirumah itu Rania
menggunakan ember untuk mengisi bak kamar mandi.
Tidak jelas mulai
kapan, Rania merasakan nyeri tidak tertahankan di punggungnya. Terutama jika
dia mengangkat yang berat-berat. Pernah suatu waktu dia pingsan tiba-tiba.
Untungnya tidak berlangsung lama, dia kembali tersadar dan nyeri dipunggungnya
pun sedikit berkurang. Karena itulah Rania berpendapat nyeri dipunggungnya itu
adalah akibat kelelahan. Selama setahun lebih mengerjakan semua perkerjaan
rumah tangga secara manual. Kejadian itu tidak dia ceritakan ke Bara. Nanti
abang jadi khawatir pula, batin Rania.
“Ya,” jawab Bara tanpa
menoleh.
“Oh ya, Bang. Susu Asbi juga hampir habis,
mungkin tinggal untuk satu hari lagi. Abang masih ada uang pegangan gak ?”
Dengan hati-hati Rania menanyakan hal sensitif itu kepada suaminya.
“Kok habis ? Kan baru
lima hari yang lalu kita beli.” Bara balik bertanya.
“Iya wajarkan, Bang.
Seusia Asbi ini kebutuhannya memang sedang tinggi,” jawab Rania, mencoba
memberi pengertian.
“Huh.. inilah akibatnya
kalau anak gak minum ASI, biaya jadi nambah,” ujar Bara dengan menggerutu.
Tesss.. setetes bening
jatuh dihati Rania. Dia sedih, Bara mengungkit ketidak mampuannya dalam memberi
ASI. Bukannya Rania tidak mau memberi ASI untuk anaknya, tetapi produksi ASInya
yang sangat sedikit sehingga tidak bisa mengenyangkan Asbi. Rania tidak
bersuara lagi, dia beranjak menuju dapur dengan pipi basah. Bara tidak
bergeming. Hatinya masih kalut karena menganggur.
“Bang, boleh ga aku
minta bantuan Mama ? Kasihan anak kita, Bang,” pinta Rania dengan nada memelas.
Air muka Bara langsung
berubah. Dari awal menikah dulu dia telah berjanji didalam hati tidak akan
pernah meminta bantuan kepada mertuanya, karena dia masih tersinggung dengan
kata-kata papa Rania yang meremehkan dirinya sebelum mereka menikah. Meskipun
waktu telah berlalu namun kata-kata itu masih membekas dalam di hatinya.
“Ga boleh, aku ga mau
menerima bantuan dari orang tua kamu. Lebih baik aku minjam dari orang lain
dari pada harus menjilat ludah sendiri !” tolak Bara dengan tatapan berapi-api.
“Begitu tinggi kah
harga dirimu, Bang ? Sampai-sampai kamu tega mengorbankan anak sendiri. Aku ga
nyangka kamu seegois ini,” Rania tidak tahan lagi dengan sifat keras kepala
Bara. Dia beranjak pergi dengan membawa Asbi di gendongannya. Melihat itu Bara
langsung mengejarnya, dan berhasil menarik tangan Rania, menyeretnya dengan
kasar kedalam kamar.
“Jangan pernah
coba-coba membawa Asbi pergi. Kalau kamu udah gak tahan dengan kondisi kita,
silahkan, pintu terbuka lebar untuk kamu !” kata-kata Bara semakin tidak
terkendali.
“Astaghfirullah.
Istighfar, Bang. Istighfar.. Jangan turuti bisikan setan.. Sadar gak kamu baru
saja mengusir aku, Bang !” kata Rania dengan nada tinggi. Bara semakin kalap,
satu tamparan melayang ke pipi Rania. Rania terpekik.
Demi mendengar suara
ribut yang disebabkan orang tuanya Asbi bereaksi. Dia menangis kencang.
Sehingga Bara dan Rania pun tersadar. Mereka baru saja memberikan contoh yang
tidak baik dihadapan anaknya. Rania memeluk anaknya dengan erat, berusaha
menenangkan Asbi yang semakin terisak. Malam itu terasa sangat panjang bagi
Rania.
Januari
2014
“Ran ! Rania ! Kenapa
kamu, Dek ?” Bara berteriak kaget ketika sampai dirumah mendapati Rania
tergolek pingsan di lantai dapur. Sementara Asbi menangis diayunan. Suaranya
serak, sepertinya cukup lama dia menangis. Bara panik, tidak tahu mana satu
yang harus ditanganinya lebih dulu.
Untung
tetangga yang berdatangan sigap memberi bantuan. Bu Midah, tetangga terdekat
mereka langsung mengeluarkan Asbi dari ayunan. Sementara Bara dan lainnya
mengangkat Rania, dan langsung melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Bara
tidak begitu paham urusan medis, yang jelas dia sangat bingung melihat
paramedis yang berlarian di depannya dengan wajah panik. Sampai yang dinanti
pun tiba, dokter memanggil Bara. Dengan tatapan penuh simpati dia menyatakan
bahwa Rania mengidap kanker tulang stadium akhir.
Bara lemas, kakinya tak
kuat lagi menyangga tubuhnya. Dia tersungkur tepat di kaki dokter. Bahunya
terguncang, air mata jatuh membasahi lantai. Dia menyesali keegoisannya yang
menuntut diperhatikan namun jarang memberi perhatian untuk Rania. Bahkan
satu-satunya permintaan yang Rania ajukan selama pernikahan mereka pun tidak ia
penuhi. Bara mengutuk keegoisannya. Namun semua percuma, terlambat sudah,
dokter telah memvonis Rania tidak akan mampu bertahan lebih dari tiga puluh
hari.
~ TAMAT ~
***
Cerpen ini terpilih sebagai salah satu kontributor dalam event "foto" yang diadakan oleh Infinite Publisher
***
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.
Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.