Saturday, May 2, 2015

[Cerpen] 40 Hari

"Sudahlah.. Tidak ada guna tangisanmu saat ini. Aku tidak akan mengubah keputusanku". Usai berkata itu dia keluar dari kamar, meninggalkanku sendiri yang masih sesegukan di sudut kamar. Tidak ! Aku tidak mau berakhir seperti ini. Tanpa menghiraukan nyeri yang menusuk di ulu hati, aku bergegas keluar kamar. Tatapan bingung Sally menyambutku di depan pintu.

"Mama.. Mama kenapa nangis ?" Sally menarik-narik ujung baju yang ku pakai. Kedua bola matanya mulai basah. Hatiku semakin pilu memandangi wajah polos itu. Segera kuusap air yang menggantung di kelopak matanya, sebisa mungkin ku hadirkan senyum untuknya.

"Tidak Nak.. Mama gak nangis kok. Tadi mata Mama kemasukan debu", jawabku lembut. Dia masih tidak percaya dengan ucapan Mamanya. Namun demi senyum patah yang ku bentuk dia pun tenang. Kedua lengannya yang mungil memelukku erat, memberi kekuatan untuk bertahan. Air mataku perlahan mengering.

***

"Aku mau bicara, temui aku di cafe Maestro pukul 11". Sebuah pesan singkat ku kirim ke nomor itu. Nomor yang dua hari lalu menelpon, memberi tahu bahwa dia adalah kekasih Mas Candra. Sebuah berita yang membuatku meradang tidak percaya. Tidak mungkin Mas Candra tega berbuat senista itu. Selama enam tahun pernikahan kami dia nyaris sempurna dimataku. Meski tidak bisa dibilang romantis namun tidak pernah sekalipun dia berbuat hal-hal yang menyakitiku dan Sally.

Aku membentak perempuan itu dengan keras, tidak terima dengan fitnah yang di sebar. Mendengar bentakanku dia justru semakin nekat, bahkan mengirimiku foto-foto mesra mereka berdua. Aku shock melihat semua itu. Duniaku terasa jungkir balik melihat semua bukti yang dia kirimkan. Harga diriku terbanting keras, menyisakan serpihan-serpihan yang semakin sulit untuk disatukan. Aku terduduk kaku, menahan emosi yang benar-benar tak lagi mampu aku tahan.

Pukul 11 kurang sepuluh menit aku tiba di cafe Maestro. Tidak terlihat batang hidung perempuan itu disana. Sebuah meja di belakang akuarium besar menjadi pilihanku untuk duduk dan menunggunya. Belum sempat memesan, seorang perempuan berbaju ungu masuk, sesaat berhenti didepan meja kasir. Dengan kaca mata hitam besar menempel di kepala, dia mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan. Kalau menurutkan emosi ingin rasanya aku menjambak rambutnya lalu membantingnya dengan keras. Agar dia bisa merasakan sakit yang aku rasakan saat ini. Aku melambaikan tangan ke arahnya, memberi tanda agar dia mendekat.

Dasar perempuan sundal ! Maki ku dalam hati. Semakin geram melihatnya melangkah dengan gemulai bak peragawati dengan tangan bersilang di depan dada. Kancing kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan celah diantara dua bukit yang selama ini aku tutupi dengan kain lebar. Huh.. aku membuang muka. Jengah.

"Hai..", sapanya. Bibirnya berlekuk, membentuk senyuman yang di mataku sangat menjijikkan. Aku beristighfar dalam hati, memohon di beri kesabaran. agar tidak semakin menjatuhkah harga diri didepannya. Sudut matanya menjelajahi penampilanku yang sungguh berbanding terbalik dengan penampilannya. Membuat aku semakin muak.

"Saya langsung saja. Apa maksud anda mengirimi saya foto-foto itu ?" Dia tidak langsung menjawab, justru sibuk memainkan bibirnya dengan ujung jari. Menyerupai gerakan PSK di salah satu tayangan yang aku lihat.

"Anda masih bertanya 'mengapa' ? bodoh atau ga peka sih ?" Jawabannya membuatku semakin meradang.

"Jika anda pikir karena foto-foto itu saya akan menceraikan Mas Candra, heh.. silahkan anda bermimpi. Karena sampai mati pun saya tidak akan melakukannya". Usai berkata itu aku bangkit, berlalu meninggalkannya.

"Oh.. begitu.. ya terserah. Berarti anda memilih untuk mengasuh anak ini nantinya", tantangnya sambil mengelus perut yang tampak sedikit membukit. Aku mengerutkan kening, mendengar ucapannya.

"Disini.. ada benih Mas Candra.. berjenis kelamin laki-laki, sesuai yang diidamkannya". Aku menelan ludah pahit membayangkan janin yang dikandungnya. Mengutuk diri sendiri yang tidak bisa hamil, akibat operasi pengangkatan rahim empat tahun yang lalu. Aku mendengus kesal, tak menghiraukannya, bergegas pergi.

***
"Gimana Ma ? Udah buat keputusan ?" lagi-lagi Mas Candra mendesakku malam ini. Padahal beberapa hari berlalu, aku berharap dia lupa dengan pembicaraan itu. Aku menghela nafas berat. Memandangnya lurus tepat ke manik matanya.

"Mas.. sampai kapan pun aku ga akan pernah mau menanda tangani surat itu. Silahkan Mas langkahi dulu mayatku. Tapi keputusanku udah bulat. Aku tidak akan menceraikanmu." Ucapanku barusan membuat Mas Candra gusar. Dia bangkit berdiri dengan kasar.

"Lalu mau mu apa hah ? Kau mau menyiksaku dengan status pernikahan yang tidak aku inginkan ini ? Mau sampai kapan ? Aku sudah capek Ma.. capek memperjuangkan sesuatu yang aku tidak suka".

Aku terluka mendengar kata-katanya. Teganya Mas Candra mengataiku seperti ini. Sekalipun pernikahan kami adalah hasil perjodohan orang tua, tapi selama ini aku merasa baik-baik saja menjalani peranan sebagai istrinya. Bahkan ketika mengadopsi Sally adalah satu-satunya jalan untuk menghadirkan suara bayi di rumah kami, dia juga setuju saja. Tak pernah sekalipun dia memperlihatkan sikap yang berbeda dari yang ku harapkan. Ini pasti ulah perempuan itu. Dia telah mencuci otak Mas Candra, tuduhku dalam hati.

"Jujur sama ku Mas.. Ini karena perempuan itu kan ?" Mas Candra kaget mendengar pertanyaanku yang sepertinya berhasil menohok hatinya dengan tepat. Wajahnya memerah seketika.

"Pe..pe..rempuan mana ? Udahh.. jangan mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya kamu sendiri sudah tau kan dari awal aku memang tidak menginginkan pernikahan ini. Kalau saja ibu ga sakit waktu itu, dan hampir mati, aku akan menolak pernikahan ini dengan lantang". Aku terdiam, dalam hati mengamini. Mas Candra yang ada dihadapanku sekarang bukanlah orang yang ku kenal. Dia seperti gunung api yang sudah lama memendam lava, kini meletus, menghamburkan semua muatan panas yang terkandung didalamnya.

***
"Yank.. gimana istrimu ? Udah mau tanda tangan ?" Nay bergelayut manja di lengan Candra. Kedua matanya menatap penuh harap, Candra akan memberi jawaban yang ia inginkan. Tapi dia harus kecewa, karena Candra menggelengkan kepala dengan mimik muka pasrah. Nay merajuk. Menjauhkan diri ke pinggir tempat tidur.

"Sabar Sayank, aku lagi berusaha.. kamu jangan marah donk" Candra membujuk Nay dengan lembut, merengkuhnya kembali kepangkuannya. Nay meronta. Tapi lengan Candra lebih kuat, membuatnya tidak berdaya untuk menolak.

"Sabar.. sabar.. sampe kapan ? Sampe perutku membesar ? Aku kan malu Yank, ga bisa keluar-keluar dengan bebas. Lain hal kalo kamu udah jadi suami aku. Pake tanktop ketat aja aku pasti pede".

"Iya..ya.. aku tahu. Sabar ya, dikit lagi kok. Aku yakin ga lama lagi dia pasti luluh." Wajah Nay langsung sumringah. Sebuah kecupan langsung mendarat di pipi Candra. Candra balas menciumnya dengan ganas. Mengulangi kembali kemesraan mereka beberapa saat sebelumnya.
***
Aku memandangi kertas putih yang baru saja ku keluarkan dari map plastik. Sebuah kolom tengah menanti tanda tanganku dengan pasrah. Aku memejamkan mata, memasukkan kembali lembaran itu ketempatnya. Sebuah keputusan telah kuambil. Demi Sally, dan secuil cinta rapuh yang bersembunyi disudut hati, aku bertekad akan berjuang sampai akhir.

"Mas.. kamu mau aku menandatangani surat itu kan ? Pulanglah, mari kita bicara", pesan singkat itu ku kirim setelah telepon ku di abaikan beberapa hari ini. Aku yakin, saat ini dia sedang bersama perempuan itu, loncat-loncat kegirangan karena merasa cita-cita mereka tercapai.

***
"Harusnya dari kemarin-kemarin kamu seperti ini. Jadi masalah ini tidak akan melebar kemana-mana. Kasihan Sally tuh, bingung liat mamanya nangis terus tiap hari", Mas Candra berkomentar panjang lebar di belakangku ketika aku mengeluarkan sebuah kertas dari sampulnya. Aku tidak balas komentarnya, meskipun sebenarnya sangat ingin. Teganya dia menyebut Sally begitu. Emangnya siapa yang buat mamanya nangis ? Sungguh gak ada perasaan, omelku dalam hati.

"Kamu mau aku tanda tangan kan ? oke aku akan tanda tangan. Tapi dengan satu syarat", ucapku sambil duduk di hadapannya. Keningnya mengernyit, mungkin bingung, atau kaget, tidak menduga aku akan berkata seperti itu.

"Syarat ? syarat apa ?" tanyanya kemudian.

"40 hari. Jalani peranmu sebagai suami ku, layaknya pengantin baru selama 40 hari kedepan. Setelah itu aku akan serahkan surat itu kepadamu", jawabku sambil menyodorkan selembar kertas berwarna biru. Beberapa hal yang aku impikan darinya selama ini tertuang disitu.

"Menggendongmu ke tempat tidur, ke meja makan, dan ke ruang keluarga. Kamu gila ? memintaku melakukan itu ?" Mas Candra protes keras setelah membaca kertas yang ku tulis.

"Mengapa ? Kamu keberatan ? Ya sudah, terserah kamu. Berarti kamu tidak menginginkan surat ini", demi perkataan itu, aku bersiap-siap merobek selembar kertas lain, yang sebelumnya berada dalam map plastik.

"Eehh.. jangan ! Oke..oke.. aku akan penuhi permintaanmu. Selama 40 hari. Gak lebih".

"Deal..", sahutku dengan senyum mengembang.

***
"Apaa ? 40 hari seperti pengantin baru ? Kamu mau membunuh aku ?" Nay tidak terima kabar yang dibawa Candra. Empat puluh hari tanpa Candra di sampingnya sama saja menyuruhnya bunuh diri. Dia tidak bisa terima syarat itu.

"Sssabar Nay.. sabar. Ini hanya 40 hari Sayank, setelah itu aku seutuhnya jadi milik kamu. Aku mohon kamu bersabar sedikit lagi".

"Kamu yakin dia akan tanda tangan ? Bagaimana kalau dia bohong ? Trus kamu ga balik-balik lagi sama aku. Aku harus bagaimanaaa ?" Nay sesegukan di dada Candra. Dunianya terasa runtuh membayangkan selama 40 hari kedepan akan didera kesepian tanpa Candra disampingnya. Candra mengecup Nay dengan lembut, memberi ketenangan kepada kekasih gelapnya itu.
***

Mas Candra menepati janjinya memperlakukanku seperti pengantin baru. Hari-hari pertama, dia masih kaku ketika berusaha romantis kepadaku. Aku yakin ketika mencium ku di benaknya adalah perempuan itu. Tapi aku tidak peduli, sebisa mungkin aku akan mencari cara agar rumah tangga ini bertahan.

Dia menggendongku dari ruang keluarga ke kamar. Memberikan kecupan lembut pengantar tidur. Paginya, dia menggendongku dari kamar ke dapur. Dari dapur ke meja makan. Mencium keningku lembut sebelum berangkat kerja. Melihat keharmonisan kami Sally tampak sangat bahagia. Hilang sudah sinar ketakutan diwajahnya setiap melihat Mas Candra. Baginya sekarang Mas Candra adalah sosok ayah yang ada di buku-buku dongeng yang dia baca sebelum tidur.

Tak terasa 20 hari sudah kami menjalani perjanjian itu. Sejauh ini Mas Candra berhasil menjalaninya dengan baik. Bahkan lebih enjoy nampak dimataku. Tidak lagi kaku, karena terpaksa. Sepertinya hasrat dia untuk bercerai sudah sangat bulat. Aku menghela nafas berat membayangkan hari-hari kelak tanpa dirinya. Tapi janji adalah janji. Apapun hasilnya setelah 40 hari nanti, aku akan menepati janji itu dengan baik.

***
"Yank.. aku rindu kamu. Kamu pasti senangkan tiap hari bermesraan lagi dengan istri kamu", nada suara Nay terdengar putus asa di telinga Candra. Dia memahami kesepian yang dirasakan Nay. Namun untuk sementara dia harus bisa menahan dirinya, dan harus puas dengan hubungan hanya via telepon.

"Iya Sayank, aku tau. Tapi kamu sabar ya, sisa 20 hari lagi kok. Aku juga rindu setengah mati sama kamu. Udah gak sabar ingin ketemu kamu lagi. Berduaan sama kamu. Arrgghh.. aku mau gila rasanya. Terlebih mendengar suara kamu begini. Aku tersiksa. Kamu tau ga ?"

"Sama Sayank. Membayangkan kamu lagi mesraan sama istri kamu itu, rasanya aku mau mati karena cemburu".

"Ga usah kuatir Yank, hati aku udah menjadi milik kamu. Kamu tau ga kenapa aku bisa bertahan sejauh ini, itu karena aku ngebayangin kamu ketika bersama dia".

"Oh ya .. bagus deh kalo gitu. Janji ya Yank, hati kamu cuma untuk aku".

"Iya.. janji.. udah dulu ya. Aku mau tidur cepat, biar bisa jumpa kamu dalam mimpi. I love you beib. Mmmuuahh..".

"I love you too. Mmuuahh".
***
Candra gelisah di ruang kerjanya. Dari tadi mondar-mandir didepan meja. Hasratnya untuk bertemu Nay tidak terbendung lagi, kerinduannya sudah menggunung, meminta untuk segera dipuaskan. Jam pulang kantor masih satu jam lagi. Jadi masih ada waktu untuknya mampir sejenak ke rumah Nay. Pasti Nay bahagia banget melihat dirinya nongol dirumahnya. Candra tersenyum membayangkan pelukan hangat dari Nay. Tanpa pikir panjang lagi, diraihnya tas dan segera cabut. Dia tak lagi menghiraukan teriakan Narto yang memanggilnya. Dalam otaknya cuma satu. Berjumpa dengan Nay.
***
Rumah itu tampak sepi. Sepertinya Nay sedang istirahat. Kan kemarin dia bilang masih pusing-pusing dengan kehamilannya. Ahh.. Candra semakin rindu melihat perut yang membuncit itu. Ingin mengelus dan berbisik pelan di atasnya.

Dengan menggunakan kunci duplikat, Candra membuka pintu, dan menutupnya kembali dengan pelan. Suara musik terdengar dari kamar yang tidak tertutup rapat. Hhmm.. betulkan perkiraanku, dia pasti sedang istirahat sambil mendengar musik kesukaannya, Candra tersenyum dalam hati.

"Sayaaanggg.. surprisee..", kata-kata Candra menggantung demi menyaksikan pemandangan di depan matanya. Berharap memberi kejutan, justru dia yang disuguhi kejutan yang tidak disangka-sangka. Spontan dia menerjang menarik laki-laki itu dari tubuh Nay. Melayangkan sebuah pukulan panas yang telak menerjang rahangnya. Dia pun tersungkur, dengan rembesan merah di pelipisnya. Melihat itu semua Nay panik, dan buru-buru menarik tangan Candra untuk menjauhi laki-laki itu. Candra menepis tangan Nay dengan kasar. Tatapannya tajam menghujam tepat ke jantung Nay yang balas menatapnya dengan tatapan mengiba, memohon untuk di maafkan. Tapi percuma, api cinta yang membara di hati Candra telah padam, dan menggumpal membentuk bongkahan es. Beku. Candra berbalik tanpa bicara dan melangkah pergi.  Sebelum itu dia menyempatkan diri melayangkan selembar kain ke tubuh Nay. Nay sadar sudah, dunianya telah berakhir.
***
Waktu berlalu begitu cepat, dua hari lagi masa perjanjian itu akan berakhir. Aku menghela nafas berat, seberat hatiku yang semakin enggan untuk menandatangani surat itu. Disadari atau tidak aku sangat menikmati perhatian Mas Candra selama satu bulan terakhir ini. Meskipun aku tau, semua itu dilakukan Mas Candra demi secarik surat itu semata. Bolehkah aku ingkar janji ? Atau aku cari ide lain saja ya agar terhindar dari kewajiban menandatangani surat itu. Tidak.. Tidak.. aku seorang muslimah. Muslimah yang baik itu selalu menepati janji, sekalipun janji itu melukai hati dan harga diri. Yah.. itu adalah yang terbaik.
***
Mas Candra sedang duduk santai di teras belakang, sambil menyeruput secangkir kopi. Tatapannya lurus ke depan, seperti sedang melamunkan sesuatu. Dia tidak menyadari keberadaanku yang telah 10 menit memandanginya dari samping. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Wajah tampan itu tampak tenang. Aku ingin mengabadikan wajah itu di hatiku, sebagai penawar kesepian setelah kepergiaannya kelak.

Sepertinya Mas Candra telah kembali dari petualangan dunia lamunannya, menyadari bahwa ada seseorang yang mengamatinya sejak tadi. Dia menoleh, lalu tersenyum ke arahku. Sebuah senyum yang teramat tulus, sehingga menghadirkan getaran halus di hatiku. Tidak. Aku harus sadar, semua ini tidak akan berhasil. Faktanya beberapa menit kedepan status kami segera berbeda.

Aku balas tersenyum, melangkah mendekat, lalu duduk di depannya. Sebuah kertas yang telah kusiapkan kusodorkan kepadanya.

"Terimakasih Mas, kamu udah turutin semua kemauan aku. Sekarang tidak ada lagi yang mengganjal dihati ini. Aku ikhlas Mas.. melepasmu dengan dia", sebisa mungkin aku mengucapkannya dengan wajar. Menahan sekuat tenaga agar riak-riak itu tidak bergulir, lalu melemahkanku lagi.

Candra memandangi kertas itu sesaat tanpa minat. Kemudian membuang muka, memilih melemparkan pandangannya jauh ke depan, ke arah rerumputan yang mulai menyemak di sisi kolam. Sepertinya ada sesuatu yang aku tidak ketahui berkecamuk dihatinya. Aku menatap, menunggu reaksi berikutnya.

Secepat kilat tangannya menyambar kertas itu, merobek, menjadikannya serpihan-serpihan, lalu melemparkannya ke dalam kolam. Aku kaget melihat reaksinya yang seperti itu. Sungguh-sungguh sesuatu yang tidak aku bayangkan sama sekali. Belum lagi hilang kagetku, tiba-tiba Mas Candra berlutut memegangi kedua tanganku.

"Ma.. bisakah kita lupakan semua ini ? Bisakah kamu beri aku satu kesempatan lagi untuk memulai semua dari awal ? Aku tau, aku sadar udah menyakiti kamu dengan pengkhianatan. Mohon beri aku maafmu Ma, please", wajahnya memelas memandangiku dengan penuh harap. Aku shock mendengar semua kata yang meluncur dari mulutnya. Nyatakah ini ? atau mimpi ?

"La..lalu.. bagaimana dengan anak yang ada dikandungannya ?" bodohnya aku menanyakan hal itu. Seharusnya aku jawab 'ya' aja tadi, udah beres.

"Dia.. bukan anakku. Aku yang bodoh mempercayai cinta semu yang dia tawarkan. Justru mengabaikan cinta sejati yang selama ini ada di depan mata. Maafkan kebodohan aku Ma.. maaf.."

Aku terdiam. Hati kecilku bersorak sorai mendegar semua pengakuan itu.

"Udahlah Mas.. aku juga udah lupain kok.. kalo tadi aku bilang 'aku ikhlas'.. sebenarnya itu bohong Mas. Bohong kalau aku bisa melepasmu, karena aku sayang sama kamu, sayang banget".

Mas Candra bangkit, dan segera memelukku dengan erat.

"Terimakasih Ma.. terimakasih.. kamu memang wanita terbaik yang diberikan Tuhan untuk aku. Terimakasih.. terimakasih." Kata-kata itu berulang-ulang dia bisikkan di telingaku. Aku balas memeluknya dengan erat. Ya Mas, aku udah maafin kamu sejak lama, batinku dalam hati. Semua orang bisa berbuat salah, karena pada dasarnya manusia itu adalah gudangnya salah. Yang terpenting dari semua itu adalah keinginan untuk bangkit agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Hup !

Tiba-tiba Mas Candra mengangkat tubuhku dengan kedua lengannya. Aku berteriak kaget.

"Kamu tahu Ma ? satu penyesalan terbesarku adalah mengapa tidak dari dulu aku melakukan ini". Sebuah kecupan manis mendarat di bibirku. Aku diam, pasrah, menikmatinya. Lalu membalasnya dengan lembut. Terimakasih Tuhan.

~End~







No comments:

Post a Comment


Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.

Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.