Monday, February 2, 2015

Trapped in Challenge : Tidak Bisa atau Tidak Mau ?

Beberapa hari yang lalu saya diutus oleh kantor untuk mengikuti training di kantor pusat Jakarta. Dengan semangat 45, saya berangkat. Saya excited banget karena membayangkan saya akan mendapat ilmu baru lagi disana.

Saya Berangkat jam 9:30 pagi dari kota saya menuju bandara.Tidak banyak kejadian menarik dalam perjalanan saya ke Pekanbaru. Selain kenalan baru yang asyik dibawa cerita. Namanya Fani, seorang karyawan swasta yang ingin melanjutkan kuliahnya di Universitas Terbuka. Dia bercerita banyak tentang masa lalunya yang 'cukup keras' dalam mencapai gelar pertamanya. Faktor ekonomi yang tidak mendukung, orang tua yang sakit-sakitan dan dua orang adik kembarnya yang duduk dibangku sekolah dasar. Ayahnya sebagai tulang punggung utama keluarga telah setahun lebih bergulat melawan stroke yang dideritanya. Sementara ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa terpaksa harus ikut membanting tulang dengan berjualan makanan di area sekolah. Bersyukur saat itu dia telah berada di tingkat akhir kuliah, sehingga tidak lagi memiliki jadwal padat dikampus, sehingga dia bisa membantu ibunya dengan mengurus perkerjaan rumah dan merawat ayahnya. Dan dia lebih bersyukur lagi karena begitu tamat kuliah, tanpa harus menunggu lama, dia mendapatkan perkerjaan pertamanya sebagai tenaga administrasi di salah satu toko yang cukup terkenal dikota kami. Dan saat ini, dia tengah mengurus pendaftarannya di universitas terbuka di Pekanbaru. Melihat semangatnya yang pantang menyerah membuat saya sangat kagum sekaligus terharu. Mendengar ceritanya tentang masalalunya itu sedikit banyak mengingatkan saya kepada masa-masa kuliah dulu. Ya, nasip saya memang tidak jauh berbeda dengan dia, bedanya adalah dia masih memiliki dua adik yang membutuhkan biaya besar, sementara saya tidak, karena saya sendiri adalah anak terakhir dikeluarga saya. Go a head Fan, semoga semua impianmu tercapai dan Allah senantiasa meridhoi setiap langkahmu.

*********

Pesawat Citilink yang saya tumpangi telah mendarat dengan mulus di bandara Soekarno-Hatta. Sambil menunggu penumpang lainnya turun, saya menyalakan ponsel dan melihat jam di ponsel saya telah menunjukkan waktu pukul 21:10WIB. Ini adalah pertama kalinya saya ke Jakarta seorang diri diwaktu malam. Tidak bisa saya pungkiri, perasaan waswas pun menghampiri saya. Terlebih lagi, atasan memberi tahu saya bahwa saya harus jalan sendiri ke mess perusahaan, karena perusahaan tidak menyediakan mobil jemputan untuk saya. Sebenarnya saya tidak sendiri datang ke Jakarta ini, karena dari 20 cabang yang tersebar di Indonesia ini, 10 cabang di antaranya juga turut serta dalam pelatihan ini. Cuma karena jarak yang berbeda-beda, penerbangan mereka pun berbeda-beda. Ada yang penerbangan pagi, siang dan malam seperti saya saat ini. Yang pasti jadwal penerbangan termurahlah yang dipilih oleh kantor cabang. Sesuai dengan pesan dari atasan saya, agar aman sampai ditujuan saya harus menggunakan Taxi yang terpercaya. Dan saya pun menuruti saran itu. Cukup lama saya berdiri di teras bandara, tapi Taxi yang saya harapkan penuh semua, sementara waktu terus berjalan. Rasa khawatir semakin memenuhi rongga dada saya, agar tidak kelihatan mencolok, saya sibuk pura-pura menelpon agar para calo-calo yang mengerubuti saya segera pergi. Karena telah menunggu cukup lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk bernego dengan salah satu calo yang menurut insting saya dia cukup 'aman', karena dia mengenakan tanda pengenal dan juga seragam salah satu perusahaan Taxi bandara, setelah mendapatkan harga yang pas, akhirnya saya naik ke salah satu Taxi yang ada di sana. Banyak doa yang saya lafazkan, berharap Allah melindungi perjalanan saya. Alhamdulillah, Allah menjawab doa saya. Saya mendapat supir Taxi yang baik, sopan dan ramah. Sebelum naik ke Taxinya dia menunjukkan tanda pengenal dan juga STNK kendaraanya. Ketika saya meminta izin untuk mencatatnya pun dia tidak keberatan. Sekitar pukul 22:30 saya sampai di mess tempat tujuan saya dengan selamat dan perasaan penuh syukur. Dan malamnya saya pun bisa beristirahat dengan nyaman.

**************

Saya melangkah dengan antusias menuju kantor pusat tempat training diselenggarakan. Saya tidak sendiri lagi, kebetulan di mess itu telah ada rekan-rekan dari cabang lainnya dan saya berangkat berbarengan dengan teman dari cabang Kupang. Jarak mess ke kantor pusat tidak begitu jauh, kurang lebih 10 menit berjalan kaki. Namun dasar saya yang memang jarang berolah raga, tetap saja jalan kaki sejauh itu membuat nafas saya ngos-ngosan tak karuan. Setelah melewati serangkaian acara pembuka, maka kami pun mulai memasuki acara utama. Saya pun dengan semangat yang masih membara, dengan tenang membuka laptop dan menyiapkan alat tulis lengkap untuk mencatat materi yang nanti diberikan. Namun tiba-tiba saja, suasana tenang itu di kejutkan dengan suara hardikan yang begitu lantang. Saya kaget bukan kepalang, jantung saya berdetak dengan cepat. Bayangan semasa ospek dikampus dulu menari-nari di kepala saya. Ada apa ini ? Batin saya bergolak mencoba memahami setiap kata yang dilontarkan oleh 'beliau' yang sedang murka itu. Setelah menyerap semua kata-kata yang dia lontarkan akhirnya saya bisa menarik kesimpulan dengan pasti. Ternyata agenda kami di kantor pusat kali ini bukanlah training seperti yang ada dalam gambaran saya, tetapi menyelesaikan komitmen yang telah ditandatangani oleh Finact Head beberapa bulan sebelumnya. Apasih komitmennya ? Kok sampai dia menghardik kami sedemikian rupa. Melihat kekagetan di wajah saya, teman sebelah pun berbisik "ga usah kaget mba, dia memang seperti itu, bawa santai aja". Sebisa mungkin saya menenangkan hati dan pikiran saya. Saya mencoba untuk fokus dengan penjelasan beliau di whiteboard, walaupun tidak begitu jelas saya terima, namun samar-samar saya bisa menangkap sebab musabab kemurkaan beliau. Tapi meskipun demikian batin saya berontak juga dengan perlakukan seperti itu. Alhasil, satu harian itu saya blank di depan monitor. Meskipun tangan saya sibuk dengan mouse klik sana klik sini, akan tetapi semua itu hanya gerakan tanpa arti. Dan bisa ditebak bukan, agenda satu hari itu nihil saya selesaikan.

Sebelum Maghrib kami kembali ke mess. Saya berusaha segarkan hati dan pikiran dengan mandi lalu kemudian sholat maghrib. Sebisa mungkin saya coba untuk khusuk meskipun sangat sulit. Jantung saya masih berdebar dengan kuat, karena telinga saya masih terngiang dengan jelas kata-kata yang saya dengar tadi pagi. Hati kecil saya berontak, tidak terima diperlakukan seperti itu. Apa salah kamu ? Toh semua masalah yang dipaparkan tadi bukan tanggung jawab kamu, tapi mengapa kamu yang menerima hardikan itu ? Mengapa orang yang makan nangka, kamu yang kena getahnya ? Setan terus membisiki saya untuk protes dan berontak.

Ternyata malaikat belum meninggalkan saya, karena dia juga membisiki dan menenangkan saya. Sudahlah, tidak ada gunanya kamu protes, toh kamu sudah terlanjur berada disini. Sudahlah, tidak ada gunanya berontak, lebih baik jadikan hal ini sebagai tantangan yang harus kamu selesaikan. Ibarat sebuah game, anggaplah semua ini adalah tantangan untuk kamu agar bisa naik ke level selanjutnya.

Pikiran dan hati saya mulai sinkron dengan satu kata. Ya.. semua ini adalah tantangan yang harus saya takhlukkan. Sekarang tinggal saya nya yang mengevaluasi diri sendiri, mampukah saya menakhlukkan tantangan ini ?

Setan di telinga kiri saya tidak mau kalah ternyata. Dia kembali membisiki saya, emangnya kamu mau diperlakukan begini ? Kamu sadar ga kalo kamu tu udah diperalat ? Enak benar mereka yang punya tanggung jawab tinggal terima bersih hasil kerja kamu. Itu kan tanggung jawab mereka, udah tinggalin aja. Ingat lho kamu datang kesini udah ngorbanin waktu berharga kamu dengan anak dan suami. Ga pantaslah kamu di perlakukan begini"

Saya mulai tergiur dengan bisikan setan di telinga kiri saya. Tapi malaikat kembali memainkan perannya. Sekarang keputusan ada ditangan kamu. Kamu bisa berontak lalu pulang dan tinggalkan semua. Tapi kamu akan dikenang sebagai pecundang. Atau kamu tetap di sini, selesaikan semua tantangan ini, lalu kamu pulang sebagai pemenang. Yakinlah dengan kemampuanmu. Kamu pasti mampu menyelesaikan semua tantangan ini.

Saya tersentak, dan sadar kembali dengan fakta yang ada dihadapan saya. Memang benar, tidak ada gunanya saya berontak dengan mengabaikan sebuah kepercayaan yang diberikan kepada saya. Satu hal positif yang harus saya maknai adalah saya dikirim kesini karena saya dianggap bisa untuk melakukannya. Jadi bukan "bisa atau tidak bisa" yang jadi masalahnya, tapi "mau" atau "tidak mau" melakukannya.

Dan memang benar, setelah memurnikan niat, dan fokus dengan tantangan, maka saya mulai bisa menganalisa detil inci demi inci angka-angka yang terpapar dihadapan saya. Alhamdulillah, saya bersyukur pada Allah, karena semua tantangan tadi mampu saya selesaikan dengan tuntas bahkan melebihi standar yang diminta oleh perusahaan.

*********

Kecendrungan manusia ketika terbentur pada suatu masalah selalu merasa sebagai korban, lalu berontak, menghindar dan menyerah pada keadaan. Padahal jika manusia mampu mengambil hikmah dari semua kejadian, memandang masalah sebagai tantangan bukan sebagai hambatan, maka manusia akan mampu menjadi pemenang atas semua masalah yang dihadapinya. Karena masalah sebenarnya bukan soal bisa atau tidak bisa, tapi lebih kepada mau atau tidak mau. Ego manusialah yang mengarahkannya untuk mau atau tidak menghadapi tantangan, karena dengan kelebihan akal pikiran yang dianugrahkan yang Maha Kuasa saya yakin setiap manusia itu bisa menakhlukkan tantangan yang ada di depan mereka.

Bagaimana dengan anda. Tidak bisa ? Atau tidak mau ?

No comments:

Post a Comment


Terimakasih telah berkunjung ^.^
Tinggalkan komentar ya, biar kita saling kenal.

Note : Mohon maaf, komentar anonim dan link hidup saya anggap spam, ya.